Jumat, 31 Mei 2013

Kau Menopangku

Kau tahu isi hatiku
Kau tahu fikiranku
Kau tahu jalan-jalanku
Kau mengenal hatiku

Tak pernah ‘ku sendirian
Tak pernah ‘ku dibiarkan
Tak pernah ‘ku ditinggalkan
Kau sumber kekuatan

Bridge:
Kaulah Tuhan penolongku
Kaulah Tuhan perlindunganku

Refr:
Disaat ‘ku ragu
Disaat ‘ku yakin
Kau menuntunku

Disaat ‘ku jatuh
Disaat ‘ku berdiri
Kau Tuhan memegangku

*** http://www.facebook.com/kayukompas ***

Sepenggal Cerita dari Lampu Merah

Siang itu, aku berencana bertemu dengan salah satu klien di daerah Cakung. Dengan terburu-buru aku memacu kendaraan ke arah gerbang tol dalam kota di daerah Senayan. Seperti biasa, jalur kereta api sebelum lampu merah menuju pejompongan selalu menyulitkan dan susah ditebak. Maju salah dan bisa berarti maut ketika lampu lalu lintas mendadak menyala merah dan kendaraan terpaksa berhenti di tengah rel kereta api karena antrian kendaraan. Tapi berhenti sebelum rel kereta api juga bukan pilihan yang baik, karena bisa berarti memancing amuk massa dari banyak pengemudi Jakarta yang tidak begitu mengerti arti kata sabar. Amuk massa dari semburan puluhan klakson yang bertubi-tubi memekakkan telinga atau bahkan mendadak disalib paksa. Beginilah realita hidup di Jakarta, kenyamanan ada di urutan ke sekian dari hal-hal yang mungkin bisa kita dapatkan. Terkadang uang sekalipun tidak mampu mendapatkan ‘makhluk’ satu ini.
Begitu roda mobil berhenti, bak selebriti yang sudah lama ditunggu-tunggu, selusinan ‘enterpreneur’ jalanan langsung merubung, bukti nyata ‘keberhasilan’ program pengembangan usaha rakyat kecil. Tua, muda, besar, kecil, gendut, kurus berebut menarik perhatian, ada yang menjajakan koran, majalah, senter, aksesoris mobil, benar-benar bidang usaha yang beragam. Dan bahkan yang lebih ajaib ada yang cuma menjajakan tangan. Tangan? Siapa yang mau beli tangan? Hahaha, mendadak aku jadi puitis dan simbolis. Tangan mengetuk-ngetuk pintu dengan tidak sabaran, tangan menengadah, tangan mengusap kaca mobil, tangan menengadah lagi, lalu hilang.

Sudah biasa, tidak ada yang menarik dan aku menggeleng dengan malas dan tidak sabaran. Sampai sesosok makhluk hitam, kecil, kurus, dekil, sangat acuh-tak-acuh, menyelinap di antara kepulan asap knalpot. Sesosok anak laki-laki dengan kain berisi sesuatu di dalamnya. Sesuatu? Sepertinya bukan sesuatu tapi seseorang, seorang anak lebih kecil lagi seukuran boneka mainan. Rambut cukup lebat yang tumbuh di kepalanya menunjukkan kalau dia bukan bayi lagi. Diam, tidak bergerak, mata tertutup, dan sama sekali tidak terlihat tanda-tanda kehidupan. Bagaimana mungkin di tengah panasnya siang di kota Jakarta, kepulan asap knalpot, hingar-bingar mesin kendaraan bermotor, seorang anak bisa tertidur begitu pulas dalam gendongan? Pulas? Sama sekali tidak bergerak! Sama sekali tidak bereaksi. Jangan-jangan dia memang hanya ’sesuatu’ dan bukan 'seseorang'. Siang itu rapat dengan klienku akhirnya selesai, adrenalin yang timbul selama rapat telah menyamarkan kenangan akan ’sesuatu’ dalam gendongan seorang anak kecil di perempatan siang itu. Hari itupun berlalu lengkap dengan segala kelelahan dan kepenatanku sendiri.

***
Beberapa malam kemudian, lebih kurang pukul 21:00 WIB atau 21:00 BBWI atau 14:00 GMT, aku berhenti di perempatan yang sama, lampu merah menuju pejompongan. Kali ini, mujur, aku berhasil melalui rel kereta api dan berhenti tepat di bawah lampu lalu lintas. Dengan lelah seharian, dari satu klien ke klien lain, dari satu situasi ke situasi lain, aku menyandarkan kepala ke jok mobil sambil menghela nafas panjang. Lumayan, akhirnya bisa pulang ke rumah dan karena sudah agak larut, lalu lintas biasanya sudah sedikit lebih tidak macet. Bukan berarti sudah lancar! Sekonyong-konyong, siluet itu muncul lagi di antara himpitan motor-motor yang menderum-derum seakan memaksa lampu merah berganti hijau. Anak itu lagi, dengan ’sesuatu’ dalam gendongannya. Sesuatu itu masih sama, diam, tidak bereaksi, dan tidak tahu sedang apa dia sebenarnya.

Memberikan uang! Itu naluri yang mendadak muncul di kepalaku, tapi seberapa banyak dan sampai kapan? Untuk siapa? Bodoh sekali rasanya melakukan itu, ketika rasa ibaku dibalas dengan senyuman puas dan lick dari seseorang yang bersembunyi entah di mana sambil mengamati pemberianku. Akhirnya, aku mengambil sebutir apel merah besar, yang seharusnya menjadi bekal pengganjal perut, dan menjulurkannya lewat jendela.

“Kamu mau apel?”, tanyaku hati-hati. Dia hanya mengangguk, yang bagiku artinya iya. Kuulurkan apel itu ke tangannya dan tanpa basa-basi dia menghilang lenyap seketika. Malam itu aku terlalu lelah untuk memikirkan kejadian tersebut. Sesaat kemudian, lampu lalu lintas di atas kepalaku berganti hijau dan aku dengan tidka bergairah menginjak pedal gas berusaha menembus malam yang bergerimis.

***
Malam ini, lebih kurang pukul 21:30 WIB atau 21:30 BBWI atau 14:30 GMT, lampu merah yang sama, rel kereta yang sama, ‘enterpreneur’ yang sama. Mataku cepat menyapu berkeliling mencari dia, seorang anak kecil dengan ’sesuatu’ di dalam dalam gendongannya. Ternyata, dia persis di samping roda mobilku, duduk di trotoar dengan sangat acuh tidak acuh seperti biasa, sudah tidak bernafsu untuk menyelinap di sela-sela asap knalpot. Mungkin dia kelelahan, tapi wajahnya tidak menyiratkan apapun, sepertinya dia tidak ada di jalan ini, dia ada dalam dunianya sendiri, dan aku tidak akan pernah memahami seperti apa dunia miliknya.

Aku lebih penasaran melihat ’sesuatu’ di dalam gendongannya, dan seperti biasa masih tetap diam, tidak bergerak, dan tidak bereaksi. Tapi malam ini, reaksiku tidak biasa, tanpa sadar aku berteriak kesal.

“Tuhan, kenapa? Apa salahnya? Bukankah dia juga manusia ciptaan-Mu yang layak mendapatkan hidup yang seharusnya?”, hatiku menangis sedih melihat anak itu.

Mendadak mulutku terkunci, hati kecilku bertanya ,“Salah Tuhankah itu? Atau salah manusia atau bahkan salahku juga? Apa yang bisa kulakukan? Apa yang sudah kulakukan? Dan sekarang apa yang harus kulakukan?”. Dia bukan ’sesuatu’, dia adalah seseorang! Dia harus menjadi seseorang karena memang dia diciptakan oleh Sang Khalik menjadi seseorang. Mungkinkah dia akan berlalu begitu saja dari dunia yang fana ini tanpa arti dan tanpa makna. Tiada jejak ditinggalkannya.

Tidak sanggup menahan resah malam ini, aku mengambil telepon genggamku dan mulai menelepon seseorang, menceritakan gundah yang belum akan berakhir. Karena belum tahu apa yang bisa kulakukan dan yang harus kulakukan?

Kata seorang teman, anak-anak itu mungkin diberi obat tidur oleh ‘pengasuhnya’. Salahkah jika aku menamai mereka anak-anak asuhan obat tidur? Akan seperti apakah perjalanan kisahmu dan dimanakah akan berakhir kisahmu? Wahai anak-anak asuhan obat tidur, salah siapa?

*** http://www.facebook.com/kayukompas ***

Kamis, 23 Mei 2013

Berlabuh

This picture was taken at Sentosa Island Resort, Singapore on July 2012 with a BlackBerry 9700 Camera.