Sabtu, 08 Juni 2013

MAMISOKA: Malu Miskin Sok Kaya

"Mala Mamisoka!", teriakan itu terdengar berulang-ulang. Dalam hitungan detik, seorang anak perempuan menangis sesenggukan sambil menutup wajah dengan kedua tangannya berlari masuk ke dalam kelas.

Beberapa hari kemudian, aku melihat tulisan dengan kata-kata yang persis sama di dinding belakang tembok sekolah, "Mala Mamisoka".

Cukup lama aku penasaran apa arti 'mamisoka', seumur-umur belum pernah aku mendengar kata itu. Khawatir itu hanya istilah jorok yang baru beredar disekolah, aku diam saja dan tidak berusaha mencari tahu.

Sampai suatu hari, seorang anak laki-laki berteriak begitu keras ketika kami pulang sekolah ,"Mala mamisoka, malu miskin sok kaya". Terbongkarlah sudah misteri itu.

***

Cerita itu hanya sedikit cuplikan kenakalan anak-anak ketika masa SMP dulu di kota kelahiranku. Mungkin bukan istilah yang umum di kota lain, tapi dulu sempat begitu populer di kalangan kami.

Memang 'mamisoka' bukanlah istilah yang masih 'in' saat ini, bahkan di kota kelahiranku. Sekarang sudah tergantikan oleh banyak istilah baru yang lebih yahud, sebut saja 'unyu', 'miapah', dan banyak istilah lain yang kadang membikin dahi berkernyit kebingungan.

Namun demikian, bukankah maknanya masih sangat relefan hingga saat ini? Begitu relefan sehingga beberapa waktu lalu muncul istilah baru yang tidak kalah menggelitik 'semua harga naik kecuali harga diri'.

Benar! Seberapa sering kita mendengar atau membaca kisah remaja puteri menjual keperawanannya (bukan kesucian, karena kesucian tidak bisa dijual dan tidak ada yang mau membeli kesucian!). Kadang dengan harga 'discount' dan bukan hanya 'midnight sale' seperti yang awam kita temui di pusat-pusat perbelanjaan, tetapi juga 'midday sale'. Hanya untuk sekedar membeli telepon genggam pintar, mereka rela ditindih beberapa menit oleh seorang pria tak dikenal yang haus akan petualangan. Juga remaja putera yang tidak mau kalah, merelakan diri dan tenaga mereka hanya untuk memberi kegirangan bagi si tante penikmat otot-otot belia mereka.

Benarkah hanya anak-anak remaja? Sepertinya tidak.

Ada berapa banyak orang memperhambakan diri kepada kartu kredit? Demi barang-barang mewah bermerek, demi tampil necis dan parlente, demi 'gadget' termutakhir. Seperti melayang rasanya ketika melangkahkan kaki di pusat perbelanjaan ternama sambil menenteng tas belanja berkelas di tangan? Laki-laki dan perempuan, sama saja!

Kenikmatan sesaat itu begitu melambungkan sehingga terkadang membuat orang lupa daratan sampai tiba saatnya harus membayar semua kenikmatan itu. Tidak heran profesi 'debt collector' begitu populer belakangan ini.

Bagi mereka yang lebih tahu diri, barang 'KW' menjadi alternatif pilihan, biar murah asal 'bermerek'. Tidak perduli hasil karya intelektual orang lain, bajak saja! Ada 'demand', ada 'supply'. Akankah lebih masuk akal untuk menghukum pembeli dan pemakai daripada pembajak?

Bukankah korupsi juga sama? Ketika orang merasa malu dengan pencapaiannya yang wajar? Malu dengan apa yang memang seharusnya menjadi bagiannya. Lahirlah, keinginan untuk terlihat lebih, menikmati lebih, dan mendapatkan lebih. Lebih kaya, lebih keren, dan semua lebih lainnya. Melebihi rejeki yang sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.

Di hati yang ingin lebih itulah, 'bapa segala pendusta' dengan mesra membisikkan kata-kata mutiaranya ,"engkau dapat memiliki seluruh isi dunia, jika engkau tunduk kepadaku dan melakukannya dengan caraku". Bisikan yang kemudian melahirkan pelacur-pelacur cilik, pembajak dan pembeli bajakan, koruptor, dan bahkan seluruh kejahatan lain di muka bumi ini.

Memang benar, kata-kata hikmat yang berkata ,"Akar dari segala kejahatan adalah 'cinta' akan uang".

Oleh karena itu, mari kita belajar bersyukur dengan apa yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Mencukupkan diri dan berbagi. Terlebih berbahagia memberi daripada menerima. Memberi mengajar kita merasa cukup dan bahkan berkelimpahan. Tidak perlu menginginkan yang lebih dengan menghalalkan segala cara!

Ucapkan selamat tinggal pada 'mamisoka' dan hapus dari kamus hidup kita. Karena tidak ada manusia yang kaya, hanya Sang Pencipta empunya semesta. Hanya di dalam Dia, kita dijadikan kaya dengan cara yang unik. Uang dengan segala kesenangan yang bisa didapatkannya tidak menjadikan kaya.

*** http://www.facebook.com/kayukompas ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar