Jumat, 21 Juni 2013

Abang Cinta Adek, Ada Pertanyaan?

*** Inspired by ‘true story’. Tapi jangan percaya dulu, persentasenya masih diragukan menunggu penelitian lebih lanjut dan rapat khusus dengan pihak-pihak terkait. ***

“Tigoorrrr….!!!”, teriakan perempuan paruh baya itu menggelegar. Bahkan si Kurik, ayam jago dengan bintik-bintik hitam putih di bulunya, tersentak dan berhenti berkokok.

“Anjrittt”, kata si Kurik dalam hati ,”mampus gue, suara gue ketelan nih, kentang nih kentang, kena tanggung… bisa-bisa suara gua turun satu oktaf… oh noo… oh yess… hussshh apaan sih?”. Si Kurik sibuk mengomel dalam hati, baru tahu dia rasanya keselek suara sendiri. Sekalinya dia keselek adalah saat mencicipi cacing tanah pertamanya yang gemuk, panjang, dan berlendir. “Hmmm… yummy”, kata si Kurik mengingat kenangan indah itu. Waktu itu keseleknya lebih asik, sakit sih, tapi enak. “Ngeri-ngeri sedap gitu deh”, kata si Kurik sambil mengedipkan sebelah mata berbangga di depan teman sejawatnya.
 
“Tigoorrrr….!!!”, sekali lagi perempuan itu berteriak menggelegar.
 
“Kupret dah si Tigor…, kagak bener nih.”, si Kurik terlompat dari khayalannya, empedalnya meloncat menutup kerongkongan.

“Si Tigor gak bener nih, harus dikasih pelajaran nih anak. Tiap ari gelantungan di pohon, udah kayak kuntilanak! Baringan di dahan, earphone menempel di telinga, mulut komat-kamit merapal, badan bau menyan. Ih gak banget, rusak nih anak. Anak muda seperti ini? Mau dibawa kemana bangsa dan negara ini? Hihihi…,” si Kurik tertawa sendiri merasa lucu.

Tidak jauh dari tempat si Kurik sedang melirik ayam betina milik tetangga sambil menggerak-gerakkan jenggernya, di atas sebuah pohon dengan bunga indah berwarna-warni bermekaran di sana-sini, seorang anak muda yang tampan, gagah, dan rupawan tengah asik berdendang ,”I know I love you before I met you…”. Itulah Tigor, kumbang jantan kebanggaan desa. Masih perjaka tingting, katanya.

Tigor merintih, menggeliat, dan mendesah mendendangkan lagu cintanya, sampai tiba-tiba ,”Plak…!”. Suara tepokan keras terdengar ketika sendok goreng panas berkilau dengan sisa minyak mendidih mendarat di paha mulus Tigor. Momentum yang timbul dari tumbukan dua benda keras itu, memaksa Tigor menaikkan nada nanynyiannya bahkan merubah syairnya.

“Mamak…, aduh Mamak…, kenapa kau pukul aku Mak?”, Tigor menjerit tak karuan terguling dari dahan. Refleks, dia merangkak menjauh dari sumber petaka. Tidak percuma Tigor berlatih baris-berbaris di Pramuka.

“Ih, apa hubungannya coba?”, kata si Pohon. Katakanlah naman pohon itu si ‘Melati.’

Itu nama pemberian Tigor, katanya Melati adalah sebuah kombinasi yang sempurna dari Cantik dan Seksi. Tigor menggunakan rumus persamaan matematika ketika menemukan nama itu. Beruntung sekali Tigor, punya guru matematika yang hebat dan dahsyat seperti Maria Tega. “Anak-anak, pagi ini kita akan memulai belajar matematika yang zuuppperrr”, begitu selalu kata Maria Tega sambil
tersenyum dan membuka kedua kakinya. Ouupsss, maksudnya membuka kedua kakinya supaya berdiri seimbang selama dua jam. Aduh, jangan ngeres donk. Kalau kamu ngeres, apalagi aku kan? Kasian kan aku?

“Jika Ayam Jantan Bulukan sama dengan si Kurik, Pria Gagah Tampan dan Rupawan sama dengan Tigor, maka Wanita Cantik dan Seksi sama dengan … (titik-titik)”, kata Tigor sambil menuliskan persamaan itu di lembaran otaknya yang tidak lebih luas dari daun kelor.

“Isilah titik-titik di atas dengan jawaban yang benar: a. Mamak, b. Melati, c. Mpok Mindun”, Tigor melanjutkan.

Lama Tigor membandingkan ketiga sosok wanita itu, sungguh sulit baginya. “Hmmm, tidak kusangka sesusah ini persamaan matematika.”, batin Tigor.

Tigorpun memaksakan processor di otaknya untuk bekerja, meskipun sedikit karatan, tapi dia bersikukuh.

“Konsentrasi apa ngeden sih Mas Tigor? Ih, untung gue belum jadian sama dia.” kata si ‘Melati’ pohon nyinyir ke-geer-an.

“Ngggit… ngiiittt… ngiittt”, bunyi infrasonik terpancar dari otak Tigor yang bergesekan karena dipaksa bekerja setelah sekian lama diam dan berkarat. Kasihan hewan-hewan malang bertelinga infrasonik.
Pilihannya cuman dua, mereka jadi tuna rungu atau Tigor gagal otak. Tinggal kuat-kuatan mana nih.

Perlahan, melintaslah bayangan si Mamak, perempuan paruh baya itu, berjalan dengan daster kedodoran yang sudah kumal dengan banyak noda menempel.

“Hmmm, kalau tidak ada si Mamak, siapa pula yang memasak untuk aku? Mamak memang tidak Seksi dan tidak Cantik, tapi masakannya mak oi, suka kali pula aku!”, si Tigor mengelus-elus perutnya yang rata dan six packs.

Menyusul setelahnya bayangan si Melati, perempuan bahenol, dengan dua jerawat batu di mukanya. Kembang desa yang hampir tak terjangkau oleh Tigor.

“Aduh, manis kali pula kutengok jerawat batunya itu. Kayak Christine Hakim dia kutengok kalau kuliat jerawat batu di dibirnya. Tapi dia incaran si Poltak, si raja muka berminyak! Bah, dihantam pula aku nanti sama si Poltak”, si Tigor pun manyun membayangkan otot-otot si Poltak yang berisi ,”bak padi bunting”, kata si Tigor.

Kemudian siluet Mpok Mindun melintas di kepala Tigor, seperti gulungan kaset rusak ,”Toeoeoeoeoengg…. toeoeoeoengg…”, terbayang Mpok Mindun dengan kembennya yang melorot, bibir penuh gincu merah cabe, dan betis yang tersingkap dari kain panjangnya.

“Aduh mak oi, mana tahan aku!”, kata si Tigor sambil menepuk jidat.

Setelah berfikir atau tepatnya melamun sambil setengah tertidur, akhirnya Tigor mengambil sikap tegas.

“Hmmm…, OK-lah kalau begitu, setelah melalui pertimbangan yang masak, aku putuskan jawaban yang benar adalah b. Melati.”, sudah bulat jawaban si Tigor.

“Mas Tigor. Telor masak atau setengah masak, enak mana Mas?”, tanya si Pohon nyinyir mencoba membuat ragu si Tigor dengan jawabannya.

“Ah, kau! Tau apa kau? Kalau telor, ya setengah masaklah. Tapi kan itu telor, ini kan matematika coy”, kata Tigor sambil menuding keningnya. Bangga!

Otak yang dari tadi diam di balik kening Tigor, kelelahan hampir kehabisan nafas dipaksa bekerja, langsung menyembur ,”Enak lu ngomong! Gue yang setengah mati nih. Sampai gue mati, nyaho lu! Lagi enak-enak tidur disuruh kerja!”.

Sejak saat itu, resmilah si Pohon nyinyir dinamai ‘Melati’. Sama dengan si kembang desa, si bahenol dengan dua jerawat batu di wajahnya.

Setiap kali kangen Melati, si Tigor pasti menaiki si ‘Melati’ si pohon nyinyir, kadang dia telentang, kadang dia tengkurap, tergantung enaknya mana. Tinggal si ‘Melati’ si pohon nyinyir yang merana harus menghirup CO2 dari minyak si nyongyong dengan essence keringat jagung di ketek Tigor.

“Daripada gue kagak berfotosintesis, kasian kan penduduk bumi.”, begitu kata si ‘Melati’ si pohon nyinyir.

“PLAKKK…!!!”, kali ini tepokan mendarat lebih keras di paha mulus milik Tigor. Buyarlah sudah lamunan itu.

“Tigorrrr!!! Kau pikir apa aku ini? Kau senyum-senyum aja dari tadi? Ada kau bantu aku Tigor? Kalau makan nomor satu kau Tigor!”, rentetan peluru AK47 berseliweran di relung-relung hati dan otak Tigor. Beruntung hati dan otak Tigor bolong di sana-sini jadi sebagian besar peluru lolos begitu saja tanpa meninggalkan bekas.

“Aduh Mak! KDRT ini Mak! KOMNAS HAM, tolong…! KOMNAS Perlindungan Anak dan Perempuan, tolong…! KDRT tingkat tinggi! Mayday-mayday, houston we are in danger!”, Tigor berteriak seperti kesurupan.

“Planggg…!”, kali ini bunyi yang beda. Bukan bunyi sendok goreng bertubrukan dengan daging berlemak, tapi kali ini bunyi besi dengan tulang.

“Addduuuuuhhhh mati aku!”, Tigor menjerit bukan kepalang memegangi benjolan merah di jidatnya.

“Rasakan kau! Biar kau pake otak kau itu Tigor! Tapi kau gak punya otak pula. Mengkhayal aja kau kutengok, Bapakmu capek kerja, aku capek masak untuk kau, dan kau enak-enakan mengkhayal!”, perempuan paruh baya itu berkacak pinggang. Tigor memalingkan wajah eneg demi melihat keteknya yang terpampang di bawah lengan dasternya.

“Hueekkk”, kata Tigor.

“Kepana pula kau mau muntah?” si Mamak pun makin sewot.

“Udah geger otak aku ini Mak”, jawab Tigor mendadak menemukan sebuah ide.

“Bah, anakku, anak kesayanganku! Yang betul kau Tigor? Bah, bah, bah, udah berapa kali aku bilang bah Tigor?” tanya si Mamak untuk mengetes kesadaran Tigor.

“Sepuluh kali Mak”, kata Tigor, entah berbohong entah memang gak bisa berhitung. Si Tigor mah emang kebiasaan.

“Bah mati pula aku ini, udah geger otak anakku. Padahal selama ini, gak punya otak kau Tigor. UN-pun yang untung lulusnya kau! Kok bisa pula kau geger otak?”, si Mamak pucat pasi. Namun demikian, sedikit kecurigaan muncul di alam bawah sadarnya. Biasa, naluri seorang Ibu, kalau bukan dia siapa lagi.

“Anakku tampan, kumbang desa, perjaka tingting, mau kumasakkan apa kau anakku? Supaya sembuh geger otakmu itu?”, tanya si Mamak dengan cemas setengah bersyukur ternyata Tigor masih punya otak walaupun volumenya belum bisa ditentukan.

“Aduh Mak, udah gak selera aku makan. Paling yang masih bisa kumakan, Mamak bikinlah dulu nasi goreng buntut kesukaanku itu. Siapa tahu bisa sehat lagi anak Mamak ini”, Tigor makin memelas terlihat tak berdaya.

“Oh iyalah anakku, iyalah anakku sayang. Jangan kau laporkan pula Mamak ke KOMNAS HAM yah anakku! Apa itu kata orang? KD… KD… KD… ah entah apalah itu, yang udah cerai sama si Anang itu.”, kata si Mamak sambil bergegas memasak nasi goreng buntut kesukaan Tigor.

“Oh…, KD ulang tahun Mak”, kata Tigor asal, menyembunyikan senyum.

“Dasar si Mamak, KDRT aja gak tau!”, lanjut Tigor dengan senyum makin lebar.

“Huuuhhh Tigor si anak durhaka! Kualat lu! Kite sumpehin kagak dapet jodoh lu!”, serempak ‘Melati’ si pohon nyinyir dan si Kurik menyumpahi si Tigor.

***

Beberapa hari kemudian, di tengah malam bergerimis yang syahdu, di tengah kerlip bintang dan bulan yang tersenyum malu, lewatlah si Melati, perempuan bahenol itu, kembang desa, dengan dua jerawat batu di mukanya, dari depan rumah Tigor.

“Aduh, rambutnya yang panjang terurai bak mayang, bokongnya yang mengembang seperti durian montong berkeping dua, aih jerawat batunya yang seperti bisul menggoda setiap jari untuk memencet, giginya yang tajam dan runcing… Hiiiiii… aduh, ini Melati apa setan nih?”, mendadak bulu kuduk Tigor berdiri dibuatnya.

Tidak hanya itu, jantung Tigor juga dibuatnya berderap dengan irama 4/4 memainkan tempo Allegro.

“Mari kita nyanyikan bersama”, kata Tigor sambil mengangkat tangan siap memimpin si Kurik dan si ‘Melati’ si pohon nyinyir bernyanyi bersama.

“Ih bego”, kata si ‘Melati’ si pohon nyinyir, “beneran geger otak kali tuh orang. Jadinya gila!”.

Dengan muka melongo, mata sayu, dan mulut ternganga, Tigor memindahkan tangannya, yang tadi terangkat hendak memimpin lagu, ke rambutnya. Dia puntir dan angkat jambul itu lebih tinggi lagi.

“Lumayan, penambahan dua centimeter terhadap total seluruh tinggi badan”, bisik Tigor bagai seorang ahli yang sedang merekam laporan hasil penelitiannya.

“Tegur, tidak, tegur, tidak, tegur, tidak”, si Tigor mulai menghitung kancing bajunya.

“Aduh, kenapa malah ‘tidak’ yah”, kata si Tigor.

“Coba kalau itung dari bawah,” Tigor mulai menghitung lagi.

“Tegur, tidak, tegur, tidak, tegur, tidak! Aduh, masih ‘tidak’ juga”, si Tigor mulai lemas.

Dia hitung sekali lagi dari atas ,”Tegur, tidak, tegur, tidak, te…! Eh, kutu tungau! Ini udel kok malah ikutan keitung?!?”, mendadak wajah Tigor cerah, secarah ketika dulu memenangkan togel pertamanya. Ternyata dari tadi udelnya ikut keitung.

“Dasar udel, kau kira bisa membodohi aku? Tigor, si ganteng malam?”, kata Tigor mencolok udelnya masuk kedalam.

“Rasain kau, pake nongol2 pula kau!”, kata Tigor tak berperasaan. Dasar pria kejam tak berhati nurani, aset sendiri masih dihina.

Segera dia hitung lagi kancing bajunya, kali ini dia hitung dari atas,”Tegur, tidak, tegur, tidak, tegur! Yeaaa…!”. Tak lupa, sambil menghitung tadi jari jemarinya yang lentik melepas dua kancing paling atas.

“Sakhruk Khan juga buka dua kancing baju kalau mau rayu cewek”, katanya.

“Tigor, Tigor. Eling Tigor, sadar, ngaca! Shakrukh Khan itu dadanya bidang dan berisi, berbulu lebat pula! Lah elu ini apa? Dada kerempeng, putih mulus, tak berbulu? Sekali hantam sama si Poltak, bisa remuk redam hati kau dalam arti harfiah Tigor!”, Si Kurik cemas melihat tuannya mulai hilang akal dan kendali diri.

Dia ingat petuah seorang ‘Aa’, yang paling penting adalah pengendalian diri. Dan sekarang, Tigor sudah kehilangan itu pula, satu-satunya yang dia miliki. Ih, si Kurik sok rohani ih.

“Hai, Melati Suci Putih Harum Mewangi Sepanjang Hari Tak Henti-Henti Menggetarkan Hati Sanubari Setiap Laki-Laki yang Memandangi Khususnya Pribadi yang Bertemu Malam Ini!”, Tigor mulai melancarakan rayuannya.

“Huuuu, tidak orisinil!”, kata si ‘Melati’ si pohon nyinyir.

“Itu kan hak ciptanya si Mbak itu tuh, artis idolaku! Awas loh, dibawa ke jalur hukum, lagi nge-trend kale! Hak Cipta dan Kekayaan Intelektual dilindungi oleh Undang-Undang!”, tumben amat si ‘Melati’ si pohon nyinyir ada isinya.

“Jiah, cerdas amat si ‘Melati’. Tau dari mane lo?”, kata si Kurik mencibir si ‘Melati’ si pohon nyinyir.

“Hi Bang Tigor, apa kabar Bang di malam yang indah cerah namun bergerimis dan syahdu ini? Kata orang gerimis malam mengundang loh Bang”, si Melati, yang asli, membalas sapaan Tigor dengan bibir dimonyong-monyongkan. Sejam sudah si Melati di depan cermin untuk mendapatkan monyongan terbaik malam ini.

Maklum, di desa ini setiap kembang desa berkiblat ke Hollywood. Kali ini yang sedang ‘in’ adalah bibir monyong ala Angelina Jolie. Itu tuh, Mpo Enji, bininya Bang Brettt. Masak gak kenal sih? Keterlaluan deh, gue aja kenal.

Limbung rasanya tubuh Tigor saat itu, vertigo pun mendadak kambuh, darah memompa deras ke segala penjuru. Dalam hal ini sungguh-sungguh ke segala penjuru, setiap sel di tubuhnya dibanjiri oleh pompaan darah dengan deras. Tau donk maksudnya.

“Apakah itu sebuah isyarat?”, kata Tigor yang mulai meremas-meremas dadanya. Berani taruhan, pengennya sih dada yang sono.

“Serangan jantung? Biasa aja kale?”, si ‘Melati’ si pohon nyinyir mulai dah.

“Melati, bolehkah Abang mendekatimu?”, tanya Tigor sambil melangkah mendekat.

“Boleh Bang Tigor. Sedekat hatiku yang bersih dari jantungku yang berdetak, juga boleh Bang! Hatiku bersih karena belum diisi oleh siapapun, jantungku berdetak oleh si dia yang berdiri di seberang sana!”, jiah basi dah si Melati. Melet-melet si Melati meremas-remas tangan sambil meliuk-liukkan tubuhnya seperti pohon layu ditiup angin.

“Emang gatal loh, Melati!”, lagi-lagi si ‘Melati’ si pohon nyinyir berkomentar.

“Adikku, Melati, kau tengoklah bulan itu! Bulan itu bulat, tapi tidak sebulat wajahmu Melati!”, Tigor mulai merayu.

“Plak! Sialan, kau kira pula mukaku ini bulat? Mukaku ini lonjong, lonjong seperti telur ayam kampung yang masih hangat keluar dari…”, Melati terdiam dan tidak meneruskan kata-katanya.

Malam itu, Melati berlari ke rumah, aliran air hangat di pipinya semakin deras. Untunglah masih tersamarkan oleh tetesan gerimis tipis yang menyentuh wajahnya.

“Lumayan, untung gerimis, kalau gak ketahuan nih ingus gue meler. Flu nih udah dua minggu kagak sembuh-sembuh!”, kata Melati dalam hati.

Sampai di rumah cepat-cepat dia ambil penggaris, dia ukur panjang dan lebar wajahnya. Diapun tersenyum puas.

“Jika salah satu sisi lebih panjang dari sisi satunya, itu namanya jajaran genjang!”, kata Melati dengan yakin.

“Dasar Tigor bego! Gak heran kan kalau gue lulus UN, gue tau persis ilmu trigonometri, bangun datar, bangun miring, bangun tidur. Gue ahlinya! Contoh, wajahku ini. Satu sisi lebih panjang dari sisi lainnya, itu namanya JAJARAN GENJANG! Hmmm, jajaran genjang apa belah ketupat yah? Gak mungkin, pasti JAJARAN GENJANG!”, senyum Melati semakin mengembang.

Dengan percaya diri dia tidur dan pulas dalam kebahagiaan.

Sementara itu, Tigor merenung di dalam kamar.

“Apa salahku dan apa dosaku? Ibu, mengapa engkau melahirkan aku? Bukan salah Ibu mengandung tapi salah Bapak yang mencetak! Hussshhh…!”, Tigor menghapus airmatanya.

***

Perlahan, Tigor melupakan sakit hatinya. Tapi sakit di pipinya belum sembuh, dia kompres setiap malam dengan ramuan ketimun putih setengah layu, bengkuang kecokelatan setengah busuk, dan petai hijau setengah dimakan ulat. Semakin hari pipinya bukan semakin membaik, tapi semakin memerah. Tidak heran, pipi Tigor infeksi dikasih ramuan beracun seperti itu.

“Oh pipiku, pipi indahku, kau tidak tembem dan tidak tirus. Kau seperti ukiran di dinding batu pualam kuil para dewa di Athena. Siapakah wanita beruntung itu yang akan mendaratkan ciuman untuk pertama kalinya di permukaan landasanmu yang indah?”, Tigor mulai berdeklamasi di depan cermin.

“Athena? Macam mana pula itu Athena? Aku belum pernah pula ke sana? Jangan-jangan sudah tompel pula kuil Athena itu. Ah, aku batalkan sajalah itu.”, kata Tigor sambil menghempaskan tubuh. Niatnya ke tempat tidur dengan dramatis seperti di sinetron-sinetron. Apa hendak dikata, Tigor terhempas di lantai ubin.

“Bruuugggg!! Huaaahhh!!!”, sebuah jeritan di tengah malam.

Keeseokan harinya, Tigor berangkat ke dokter ahli kecantikan di desa itu. Dahsyat bener, di desa begini ada dokter ahli kecantikan pula.

“Menerima perawatan kecantikan. Kami ahlinya, dokter ahli kecantikan berizasah SMA”, begitu bunyi iklan di depan gubuk itu.

“Dokter berizasah SMA?”, Tigor berkernyit, sepertinya ada yang salah.

“Ah, biarlah. Yang penting pipi kebanggaanku ini bisa sembuh dan pulih sedia kala. Siapa tau pula ada cewek kenalan, malu kalilah aku kayak gini.”, dengan tekad bulat, Tigor masuk ke dalam gubuk itu.

“Wuuuzzzz…”, angin lembut bertiup dengan wewangian berpendar di sekelilingnya ketika dewi itu melangkah keluar dari balik tirai menyambut Tigor.

“Aduh mak oi, apa pula ini? Malaikat mungkin ini?”, kata Tigor sambil mengucek-ucek matanya.
Rambutnya yang berkibar diterpa kipas angin, baju kaosnya yang kekecilan mungkin punya adiknya, rok mininya yang hanya sejengkal dari pinggang, alas kakinya yang seperti bakiak. Taruhan, anjing manapun bakal mati dilempar sama tuh sepatu atau sandal yah? Apapunlah.

“Sempurna”, bisik Tigor tanpa sadar.

“Apa yang sempurna Aa Tigor?”, perempuan itu menyadarkan Tigor.

“Ah, Adek Neng ini bisa-bisa aja. Kura-kura di dalam perahu, pura-pura tidak tahu”, kata Tigor berperibahasa. Dia merasa senang dengan kecerdasannya. Apalagi di depan dewi ini, oh memanglah Tigor seorang dewa dari Athena.

Neng Risma Liasari, itu namanya. Perempuan cantik, kembang desa terbaru, asli impor dari negeri seberang. Seorang dokter ahli kecantikan berizasah SMA. Benar-benar sempurna.

Hampir satu jam sudah, Tigor menjalani terapi penyembuhan itu. Oh rasanya dia benar-benar sembuh, pipinya diusap, dielus, dibasahi, dikeringkan. “Huffff… panas-panas”, kata Tigor dalam hati.

“Oh, Adek Neng, kau membuat aku seperti raja rasanya”, kata Tigor begitu selesai.

“Aa Tigor, bisa saja”, kata Neng Risma Liasari sambil melet-melet setengah kebelet.

“Ah, jangan pulalah kau panggil aku ini Aa, kayak orang gagu kau kudengar A… A… A… Aabang…! Hahaha…”, Tigor tertawa diiringi siraman hujan lokal membanjiri si Neng.

“Ah, bukan atuh Aa, dah Aa mah panggilan sayang si Neng sama Abang Tigor”, si Neng makin melet, kali ini sepertinya sudah tidak tahan. Kedua betisnya dirapatkan.

Dikasih umpan, Tigor langsung teringat sebuah tulisan kata-kata bijak dari Albert Einstein dan satu-satunya yang dia hafal bener ,”Selagi ada cinta tidak perlu ada lagi pertanyaan”.

Tanpa membuang waktu, dengan gagah berani, dia smash-lah si Neng ,”Abang cinta sama Adek, ada pertanyaan?”.

Diam sejenak, kemudian “Cuuupppp, ahhh”, sebuah suara mencurigakan terdengar.

Kali ini bukan karena momentum yang terbentuk dari tumbukan sebuah benda keras dengan benda keras lain. Kali ini seperti bunyi udara yang tertahan karena dua buah benda setengah keras bertemu.

“Neng ke belakang dulu ya Aa, kebelet, mau pipis”, bisik Neng di telinga Tigor.

Tinggallah Tigor yang gelagapan, tidak bisa bernafas.

“Bruuukkk!”, Tigor ambruk ke lantai tak sadarkan diri.

Kali ini tumbukan antara dua benda, dimana sebuah benda yang terdiri dari 90% air dengan massa lebih-kurang 65kg membentur bidang datar keras terbuat dari ubin bernama lantai.

“Ooooh Tigor, akhirnya dapet jodoh juga lo!”, kata si ‘Melati’ si pohon nyinyir dan si Kurik si ayam jantan bulukan serempak dalam nada minor dengan pecah suara Soprano dan Tenor.

And they live happily ever after.

The End.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar