Selasa, 18 Juni 2013

Seorang Anak ‘Haram’ Dengan Ibunya [Part 2: Ibu]

ANAKKU, KAU BUKAN ANAK HARAM!

*** Seolah engkau adalah buah dari kenistaan, sejatinya engkau adalah pewaris kehidupan! ***

Anakku, masih nyata dalam benak, ketika tangismu memecah malam. Kala burung dan serangga malam tersentak diam, seksama mendengarkan. Semilir anginpun tidak berani lancang. Semua diam!

Tangismu anakku, bukan tangis biasa! Langit menangis menyampaikan kisahmu kepada bumi. Kisah tentang sebuah kenistaan. Sungguh malam itu, dia tidak rela menaruhkan roh kemurnianmu ke dalam tubuh kefanaanmu. Tidak ke dalam kelaliman sang bumi! Dia tahu anakku, di tahu bahwa tubuh fanamu seolah buah dari sebuah kenistaan.

Malam itu, aku juga menangis untukmu anakku, menangis untuk keberadaanmu, menangis untuk masa depanmu, menangis untuk doa dan harapan bodohku bahwa kau tidak akan pernah menjejak bumi. Ketika isakku berpadu dalam tangis kecilmu, ketika redup mataku memandang binar matamu, ketika tangan kasarku membelai halus kulitmu. Jiwaku meledak dalam haru! Kau, darah dan dagingku! Aku bermohon pada Sang Langit, tidak akan kubiarkan sehelaipun kelaliman bumi ini menyanyat dan merobek jiwamu anakku, sampai dia rampas nyawa ini dari raga.

***

Sembilan bulan anakku, sembilan bulan aku membawamu. Buah kenistaan dalam rahimku. Setiap sentuhan kecil dari tangan dan kakimu mengguncang air ketubanku dan mendesak dinding rahimku. Ingin kuremukkan setiap tulang di tubuhmu, ingin kulumat serpih demi serpih daging di tubuhmu, ingin kucacah dirimu dengan belati kemarahanku sampai hancur luluh ragamu. Dengan demikian anakku terhapuslah sudah aibku.

Setiap hari, aku merutuk mengutukimu! Aku benci kau dengan segenap jiwa dan ragaku! Aku lakukan apapun untuk memusnahkanmu dari hidupku! Kau jahanam kecil dalam diriku. Beraninya kau merampas semua kebahagiaan masa remajaku! Beraninya kau menghancurkan semua harapan dan cita-cita beliaku. Aku kutuki kau! Dengan demikian anakku terbebaslah sudah pasung jiwaku.

Kerlip matamu anakku, mengingatkanku akan bintang-bintang malam ketika dia menjamahku. Pengecut itu menjanjikanku surga, tapi neraka yang kujemput. Ingin kubutakan matamu, kurampas kerlip itu, dan kubuang ke dasar lembah kehancuran. Dengan demikian anakku telepaslah dendam kesumatku.

Tapi anakku, aku tak berdaya. Sang Langit begitu mengasihimu. Selama sembilan bulan aku memusuhi sang langit. Betapa jahat dan tidak berhati nurani dia. Aku tidak menginginkanmu! Itu bukan salahku! Pergi kau, buah kenistaan! Pergi kau jauh dari hidupku! Dengan demikian anakku sudah teringkarilah keberadaanku.

Aku terhilang bersama malam dan lenyap bersama pagi.

***

Malam ini anakku, ketika isakku berpadu dalam tangis kecilmu, ketika redup mataku memandang binar matamu, ketika tangan kasarku membelai halus kulitmu. Jiwaku meledak dalam haru! Kau, darah dan dagingku!

Kubasuh tubuh ringkihmu! Dengan demikian anakku, teragungkanlah sudah aibku dalam kesucianmu.
Kutarik semua kutukku! Dengan demikian anakku, terpasunglah sudah jiwaku dalam pengabdian padamu.
Kucium kerlip matamu! Dengan demikian anakku, terikatlah sudah dendamku dalam pengampunanmu.
Kusujud pada langit! Dengan demikian anakku, nyatalah sudah keberadaanku dalam dirimu.

***

Anakku, engkau bukan anak haram!
Anakku, ibumu bukan pelacur perempuan!
Katakan itu pada mereka! Tidak dengan kata-kata anakku! Tidak dengan kata-kata.
Katakan dengan hidupmu anakku! Katakan dengan hidupmu!
Kau bukanlah buah kenistaan!

Anakku, laki-laki kecilku.
Permata hatiku, bunga matahariku.
Ketika waktumu tiba, aku rindu kau menjadi seorang pria.
Pikullah kuk dalam hidupmu.
Karena, kau adalah pewaris kehidupan!

Aku! Aku akan membentang bersama malam dan berderap bersama pagi. Mendampingimu seumur hidupku.

Dari aku, ibumu, perempuan laknat yang terampunkan.


*** http://www.facebook.com/kayukompas ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar