Sabtu, 01 Juni 2013

Cinta Datang Tiba-tiba (?)

Cerita ini bermula ketika aku mengikuti perjalanan dinas kantor ke Kuala Lumpur, Malaysia. Berhubung karena kantorku adalah perusahaan multi nasional, maka kami diberi standar penerbangan kelas internasional yang dianggap paling memadai dengan standar keselamatan yang tinggi. Dalam hal ini, biasanya menggunakan maskapai Singapore Airlines yang memang dikenal baik dalam pelayanan maupun keselamatan. Namun berhubung untuk perjalanan dinas kali ini tidak ada penerbangan Singapore Airlines dari Jakarta ke Kuala Lumpur, maka aku memutuskan untuk menggunakan jasa penerbangan Malaysia Airlines sesuai arahan dari kantor.

Penerbangan dari Jakarta ke Kuala Lumpur berjalan dengan baik dan aku menikmati masa tugas di sana dengan sesekali keluyuran di malam hari sekedar menikmati suasana malam di Bukit Bintang dekat dengan hotel tempatku menginap. Sampai suatu malam, aku melihat pemandangan yang tidak aku kira akan aku temui di negara ini. Sebuah taksi hampir saja menabrak beberapa turis pejalan kaki, suara decitan ban yang direm mendadak, disusul dengan bunyi klakson yang ditekan sekuat-kuatnya dengan terus menerus, berlanjut dengan pertengkaran hebat dan saura-suara gaduh yang bersahut-sahutan antara para pejalan kaki dan si sopir taksi.

Entah mereka saling mengerti atau tidak, karena sepertinya mereka menggunakan bahasa yang berbeda. Singkat cerita, adu jotos pun hampir terjadi saat itu, dan yang membuat saya ‘kagum’, baik si sopir taksi maupun si pejalan kaki sama-sama punya nyali yang patut diacungi jempol. Kisah yang lucu di negeri jiran. "Hmmm, ternyata bukan hanya di negaraku", batinku.

Aku senyum-senyum sendiri sambil berjalan kaki kembali ke hotel, teringat kisah lucu lain ketika aku berkunjung ke Pulau Hainan, di daerah Cina Selatan. Katanya, pulai ini adalah ‘Oriental Hawaian’, berhubung kanre aku belum pernah melihat Hawai, dengan senang hati aku mengiyakan. Daerah Pulau Hainan memang cukup cantik dengan pantai yang indah. Namun jika Hawai 'hanya' begitu, sepertinya aku lebih memilih berlibur ke Bali atau ke pantai-pantai lain di negaraku. Menyadari hal itu, ada debaran lembut muncul di dadaku, mengalir nyaman ke hati, dan menambah sedikit hormon endorphin di otakku. Membawa suasana hati nyaman malam itu.

Ada banyak kisah lucu ketika aku berada di Pulau Hainan, tapi kali ini biarlah aku menceritakan dua saja mewakili perasaanku. Kisah pertama adalah ketika aku begitu 'kebelet' untuk menuntaskan urusan biologis di tengah downtown kota kecil tersebut. Setelah mencoba bertanya ke sana kemari dengan bahasa Tarzan, akhirnya aku menemukan tempat itu. Hufff, sebuah toilet untuk melepaskan hasrat biologis yang sudah mendera sedari tadi.

Dengan terburu-buru aku masuk ke dalam dan ,"HUAAAAHHHH…!!!". Yang tadinya aku merasakan dorongan arus bawah sekarang mendadak berubah menjadi dorongan arus atas. Hampir muntah, aku mundur ke belakang dengan mata berkaca-kaca. Astaga, di setiap kamar kecil itu ada tumpukan menjijikkan membuatku kehilangan ‘kesadaran’ untuk membuang hajat. Aku keluar dan cepat-cepat mencari taksi dan kembali ke hotel.

Kisah kedua adalah ketika aku mencoba mencari beberapa oleh-oleh untuk dibawa pulang bagi para kerabat dan rekan kerja. Tanpa sengaja, sudut mataku menangkap satu pemandangan aneh, seorang laki-laki dengan terbungkuk-bungkuk memasukkan penjepit kue yang begitu panjang ke saku seorang wanita. Ya, sebuah penjepit kue yang terbuat dari besi dan begitu panjang. Begitu berulang-ulang sampai kemudian aku menyadari apa yang terjadi. Hah? Pencopet? Dengan penjepit kue dari besi yang begitu panjang dan besar? Bercampur geli dan cemas, aku melotot tak berkedip dari seberang jalan menanti apa yang akan terjadi.

Sepertinya wanita itu turis yang berasal dari Jepang dan sedang berlibur bersama suami dan anaknya. Aku berdebar-debar menunggu apa yang akan terjadi namun tidak memiliki nyali untuk berteriak ,“Copet!”. Dan kalaupun aku berteriak toh tidak ada yang akan mengerti. “I’m sorry, no Mandarin, English only!”, begitu selalu kukatakan setiap kali seseorang mulai mengajakku berbicara.

Aneh sekali, di siang hari bolong, di tengah kota, mencopet dengan penjepit kue yang begitu menyolok. Apa?!?

“Nah, ketahuan kan! Puas!”, begitu kataku dalam hati ketika si wanita Jepang menghardik si pencopet sial itu. Sekali lagi adegan pertengkaran campuran 'antar bangsa' terjadi di hadapanku, sungguh lucu. Dua orang dengan bahasa yang berbeda saling berteriak satu sama lain. Bagaimana mungkin mereke bisa bertengkar begitu lama tanpa saling memahami satu sama lain? Atau jangan-jangan mereka saling memahami meskipun dengan bahasa yang berbeda? Ada-ada saja! Karena aku tidak mengerti keduanya akupun pergi tanpa kesimpulan.

Sampai di depan Westin Hotel tempat menginap, lamunanku dibuyarkan oleh sapaan ramah petugas pintu. “Good night,” aku membalas sapaannya, naik ke kamar dan tidur pulas.

Tidak terasa tugasku di Kuala Lumpur sudah berakhir dan tiba waktunya harus kembali ke Jakarta. Aku memesan taksi dari hotel ke bandara, dan sekali lagi dibuat terkaget-kaget. Ketika tiba di KLIA, tarif taksi yang terlihat di argo tiga kali lebih banyak dari tarif ketika aku naik taksi dari Bandara ke Hotel. Spontan aku menegur sopir taksi tersebut. Dia menjawab dengan tergagap-gagap ketika aku mengancam akan melaporkan taksinya karena mencurangi argometer. Ancaman tinggallah ancaman karena aku terburu-buru mengejar pesawat kembali ke Jakarta.

Sembari menunggu di dalam pesawat Malaysia Airlines yang akan membawaku kembali ke Jakarta, di antara kantukku terbayang kilasan-kilasan peristiwa konyol yang berulang kali kusaksikan di beberapa negara yang pernah kukunjungi. Kesadaran itu menggugah perasaanku bahwa mungkin negaraku tidak seburuk yang kuduga dan negara lain tidak sebaik yang kusangka.

Aku melemparkan pandangan menembus kaca jendela pesawat dan tanpa sengaja sudut mataku menangkap siluet pesawat Garuda Indonesia. Tidak begitu besar, tapi terlihat gagah sekali dalam pandanganku saat itu. Tiba-tiba hatiku luluh dan ada kebanggan yang begitu luar biasa ketika menyaksikan pesawat itu berjalan perlahan menuju runway, menambah kecepatan penuh, dan terbang meninggalkan KLIA. Dalam hati aku berdoa untuk pesawat itu, untuk keselamatannya, dan untuk Indonesia. Aku merasakan cinta yang begitu besar, mengalir di dalam hatiku, cinta yang mungkin selama ini tidak pernah aku sadari. Cinta akan negaraku, cinta akan Indonesiaku. Kalau bukan aku, orang yang lahir, besar, dan hidup di sana, siapakah lagi yang harus mencintainya?

Cinta itu terus menggelora di dalam hatiku, dan sejak saat itu, aku merubah cara pandang akan Indonesia. Setiap kali berada di luar negeri, aku berusaha menjadi duta pariwisata. Aku menceritakan bagaimana Indonesia begitu indah, begitu kaya, begitu banyak yang bisa dinikmati. Indonesia aman dan tidak seburuk yang disangkakan orang. Indonesia tidak lebih jelek dari negara-negara lain. Indonesia layak untuk dikunjungi dan memang sangat layak, bahkan teramat sangat layak. Sehingga harusnya menjadi top destination bagi para turis mancanegara.

Betapa bangga aku mendengar cerita seorang teman, ketika dia juga memiliki visi yang sama menjadi duta pariwisata bagi Indonesia setiap kali melakukan perjalanan ke luar negeri. Bahkan di satu kesempatan, dia (seorang perempuan) dengan gagah menendang kaki salah seorang rekan prianya sesama orang Indonesia (di bawah meja tentu saja) yang dengan ‘lancang’ berani menjelek-jelekkan Indonesia. Dia bilang di Indonesia cuma ada banjir, kriminal, korupsi, dan lain-lain justeru ketika temanku itu sedang mempromosikan betapa Indonesia begitu indah dan menyenangkan, karunia Tuhan Yang Maha Kuasa.

Teringat ketika beberapa orang tamuku datang dari India, negeri jauh di seberang sana. Dengan antusias mereka kuajak berkeliling kota Jakarta dengan menumpang taksi hanya demi memberi mereka kesempatan mengenal Jakarta paling tidak. Untuk kedua kalinya di dalam hidupku, aku berfoto di depan Tugu Monas, tugu kebanggaan Jakarta. Kalau yang pertama kali dulu aku malu-malu, yang ini aku berfoto dengan senyum bangga sambil merangkul pundak tamu-tamuku. Tidak perduli dengan tatapan dan senyum lucu dari Abang-abang becak di sekitar Monas. Siapa tahu, kebanggaan yang sama bisa menular di hati mereka.

“God must be smiling when He created Indonesia”, itu kutipan yang sering kami gunakan untuk menggambarkan Indonesia. Meski mungkin tidak original, tapi jauh di dalam hati, keyakinan itu ada. Aku percaya: Tuhan pasti sedang tersenyum ketika Dia menciptakan Indonesia dengan segala kekayaan dan keindahannya.

Pada suatu kesempatan, aku dan rekan-rekan di salah satu organisasi diberi kepercayaan untuk mengambil bagian dalam acara bertemakan “Keanekaragaman Indonesia”. Dengan menggunakan busana daerah, kami menyanyikan lagu itu, sebuah lagu yang sudah hampir terlupakan tapi ternyata bisa menggambarkan betapa aku mencintai negeri ini ,“Tanah Airku”. Diiringi alunan piano dan drum yang terkadang begitu lembut mengalun dan terkadang begitu menggelora menggugah rasa, syair itu meluncur dari bibir kami.

Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Meskipun saya pergi jauh
Tidak ‘kan hilang dari kalbu

Tanahku yang kucintai
Engkau kuhargai

Meskipun banyak negeri ‘ku jalani
Yang mashyur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Disanalah ‘ku rasa senang

Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan

Semua hening, bahkan para hadirin juga hening, tidak terasa air mengambang di mata, menetes perlahan mengalirkan haru. Benar, ternyata aku mencintai negeri ini, dan bangga akannya. Bukan hanya aku, tapi banyak di antara kami yang terdiam sejenak dengan mata berkaca-kaca. Aku bisa merasakannya, ada banyak orang mencintai negeri ini. Keyakinan bahwa suatu hari, negeri ini akan semakin baik membawaku ke dalam perspektif baru.

Selang beberapa saat, seorang teman menghampiriku, dia bercerita bagaimana saat masih studi di negeri Belanda. Ketika bersama rekan-rekan sesama orang Indonesia sedang bersantai di tengah kota, sekelompok paduan suara mahasiswa Indonesia membawakan lagu tersebut di tengah kota. Temanku dan rombongan berhenti, berkeliling, kemudian ikut bernyanyi bersama. Karena rindu yang tidak tertahankan akan kampung halaman, airmata bercucuran tidak terbendung. Tidak ada rasa malu, hanya ada rasa rindu dan rasa bangga sebagai sesama orang Indonesia. Ada satu tekad, bahwa Indonesia pasti lebih baik, ketika anak-anak Ibu Pertiwi memulai hal yang baik dari diri sendiri.

Aku tersentuh, bagaimana mungkin aku begitu mencintai negeri ini dengan tiba-tiba. “Cinta datang tiba-tiba”, itu kata Bung Marcel dalam nyanyiannya. Tapi semakin aku merenung, mungkin cinta ini tidak datang tiba-tiba, mungkin selama ini aku yang kurang peka akan kehadirannya. Aku ingat bagaimana kadang aku melompat, berteriak, menahan nafas, mengerang kecewa, dan bertepuk-tangan kegirangan setiap kali menyaksikan Indonesia berlaga di kejuaran olah raga internasional. Meskipun hanya sebatas layar kaca. Aku ingat rasanya berusah-payah menahan airmata agar tidak sampai jatuh ketika Mbak Susi Susanti menangis bangga dengan penuh haru saat lagu 'Indonesia Raya' untuk pertama kalinya dikumandangkan di Olimpiade Barcelona.

Sepertinya aku mencintai negeri ini dari lahir, bahkan mungkin sebelum lahir. Tidak heran, Sang Khalik menempatkan aku untuk di negeri ini. Cinta itu datang dari dulu kala, mengalir di dalam darah, menyerap ke jiwa, berkembang menelusuri raga, tercipta di dalam rasa, dan mengejawantah dalam asa.

Maaf Bung Marcel, saya sangat menyukai lagu anda, tapi kali ini izinkan saya memilih untuk menyenandungkan sebait lagu dari Savage Garden sebagai gantinya, “I know I love you before I met you”. Seperti-nya lagu anda kurang pas untuk kisah cinta yang satu ini, karena ternyata cinta ini tidak datang tiba-tiba, cinta ini sudah ada bahkan sebelum aku terlahir di bumi Indonesia. Tapi tetap ada kredit untuk anda, karena anda benar, “Cinta ini anugerah Yang Kuasa”.

“I Love Indonesia”, aku berbisik sambil mengakhiri tulisan ini.

— Note: Kutipan yang terjadi di negara lain bukan untuk menjelekkan atau mendiskreditkan negara tersebut, hanya mengutip kisah yang kebetulan aku alami sendiri. Mungkin hanya sebuah kebetulan. —

*** http://www.facebook.com/kayukompas ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar