Jumat, 11 Oktober 2013

Surat dari seorang Ayah untuk kedua Puteranya

When I, your father, have let you down (Ketika aku, ayahmu, telah membuatmu kecewa)

Anak-anakku, tak terhitung berapa kali Ayah membisikkan kata ini ke telingamu, bahwa Ayah mencintaimu. Teringat hari ketika kau terlahir ke dunia ini, aku menggendongmu dengan mata basah oleh haru dan bahagia. Waktu itu aku berjanji akan menjadi seorang Ayah yang baik untukmu dan akan menolongmu menjadi seorang laki-laki sejati dalam hidup....

Hari ini, aku menuliskan surat ini untukmu juga dengan mata basah, tapi bukan karena haru dan bahagia seperti ketika engkau terlahir dulu, tapi karena rasa bersalah kepadamu. Aku, Ayahmu, telah membuatmu kecewa.

Hidup membawaku masuk dalam pusaran perjuangan yang tidak mudah anakku. Terkadang tubuh dan pikiran lelahku tak mampu mengimbangi rasa cintaku kepadamu.

Ketika aku seharusnya mendampingimu dalam hari-harimu, yang aku tahu tidak lebih mudah dari hari-hariku, kenyataannya aku harus bergelut dengan dunia ini demi kita.

Ketika aku seharusnya mendampingi malam-malammu, mengajarimu apa itu sistem perkalian, organ tubuh, dan ilmu hidup, kenyataannya aku lebih memilih memanjakan diriku. Kataku, seorang laki-laki harus memiliki waktu untuk dirinya sendiri dan untuk sahabat-sahabatnya.

Ketika aku seharusnya meninabobokanmu sambil mendengarkan celotehmu tentang hidupmu yang belia dan menggairahkan, kenyataannya aku lebih memilih bermesraan dengan gadget di tanganku.

Anakku, hari ini, ketika aku melihat redup di matamu dan kuyu di wajahmu. Aku tahu, kau terluka karena merasa telah membuatku kecewa dengan pencapaianmu.

Anakku, ketika amarahku memuncak, dan tak sepatah katapun terucap dari mulutku. Ketahuilah bahwa detik itu juga aku mengerti, bahwa aku, Ayahmu, telah membuatmu kecewa.

Kenyataannya, aku tidak pernah menjadi seorang Ayah yang baik untukmu sebagaimana dulu janjiku ketika menyambut hadirmu dalam hidupku.

Anakku, aku mengerti sekarang: cinta di hatiku, kata-kata cintaku, semua pencapaianku tidak berarti banyak untukmu.

Karena cinta tidak diukur di kedalaman hatiku, juga tidak dalam kata-kata indah penuh bunga dari mulutku, apalagi pencapaianku, tapi cintaku padamu diukur dari sejauh mana aku berani korban untukmu.

Maafkan aku, Ayahmu, karena telah membuatmu kecewa.

Hanya doa, cinta, dan ketulusanmu yang lugu yang mampu memberi aku, Ayahmu, kekuatan untuk berani berkorban demi kau, kedua puteraku, yang kucintai dengan hidupku.

Dari aku, Ayahmu, seorang laki-laki yang juga tidak sempurna sama sepertimu dan juga sedang belajar menjadi laki-laki sejati dalam hidupku.

Sabtu, 20 Juli 2013

Cinta Dan Cinta Adalah Cinta

Cinta Mencintai Cinta
Sebagaimana Harusnya Cinta Mencintai Cinta
Tetapi Cinta Tak Pernah Mencintai Cinta
Sebagaimana Harusnya Cinta Mencintai Cinta

Cinta Menantikan Cinta
Sebagaimana Harusnya Cinta Menantikan Cinta
Tetapi Cinta Tak Pernah Menantikan Cinta
Sebagaimana Cinta Harusnya Menantikan Cinta

Cinta Merindukan Cinta
Sebagaimana Harusnya Cinta Merindukan Cinta
Tetapi Cinta Tak Pernah Merindukan Cinta
Sebagaimana Cinta Harusnya Merindukan Cinta

Cinta Menginginkan Cinta
Sebagaimana Harusnya Cinta Menginginkan Cinta
Tetapi Cinta Tak Pernah Menginginkan Cinta
Sebagaimana Cinta Harusnya Menginginkan Cinta

Cinta Tanpa Cinta Bukan Cinta
Karena Cinta Diambil Dari Cinta
Cinta Bersama Cinta Sempurnalah Cinta
Karena Cinta Dan Cinta Adalah Cinta


***

http://www.facebook.com/kayukompas

Kamis, 04 Juli 2013

Rumah Para Malaikat

*** Untuk Para Pekerja Sosial dan ‘Anak-anak’ Mereka ***
 
Dimanakah bahagia? Jangan kau tanyakan pada rumput yang bergoyang, karena rumput yang bergoyang tidak mengenal bahagia? Apakah itu cinta? Jangan kau tanyakan pada angin yang lalu karena angin yang lalu tidak mengerti cinta.

Jika telingamu tidak terlalu sibuk dengan gegap-gempita dunia, dengarkanlah aku kali ini. Kali ini saja, sendengkanlah telingamu ke arahku. Akan kuberitahu kau dimanakah letak bahagia dan apakah arti cinta.

Sudahkah kau sendengkan telingamu kepadaku? Marilah, kali ini saja, aku tidak akan berlama-lama dengan telingamu. Aku tahu telingamu terlalu sibuk dengan suara bising hiruk-pikuk pencarianmu. Tapi, sekali lagi aku pinta, kali ini sendengkenlah telingamu kepadaku.

Baiklah, aku tahu kau menganggapku tidak penting, kata-kataku tak berarti, tak mendatangkan manfaat, tak mendatangkan laba bagimu. Sekalipun kau tak mendengar, tak mengapa. Mulutku sudah tak tahan untuk bicara!

Kalau kau bertanya dimanakah bahagia. Mari, aku ajak kau mengembara ke dalam dunia para malaikat. Mereka beterbangan kian-kemari, mengepakkan sayap dengan suka, berdansa dengan tawa. Mata mereka, aduhai, mata mereka. Coba lihat mata mereka. Ayo, jangan malu-malu, coba kau lihat mata mereka. Indah katamu? Bukan, bukan itu. Lugu katamu? Sedikit lagi, tapi bukan itu. Ayo, cari lebih dalam lagi!

Lihat jauh sampai ke kedalaman, apa yang kau lihat? Benar! Itu yang aku maksud. Kau melihat binar-binar berpendaran di mata mereka bukan? Oh, bahagia! Itu rahasianya, ternyata bahagia kutemukan dalam binar-binar mata malaikat-malaikat kecil itu.

Sungguh! Aku tidak akan berdusta kepadamu. Aku sudah lelah berdusta! Kali ini, kumohon percayalah! Aku menemukan bahagia di mata para malaikat kecil itu.

Apa? Kau tak percaya? Aku tantang kau datang dan masuklah ke dalam dunia para malaikat, pasti kau akan takjub. Tertunduk-tunduk karena malu kau akan berlalu dari hadapanku. Karena kau sangka aku berdusta, tapi matamulah yang buta.

Jangan malu, aku juga dulu buta, bahkan sekarang masih setengah buta. Tak mengapa, selaput di mataku hamir luruh sudah. Kuharap nanti tak perlu lagi aku meraba-raba ketika mataku sudah terbuka.

Satu lagi, aku belum selesai! Tunggu! Kumohon, sebentar lagi. Oh, ternyata kau memang tak mendengarkan sejak tadi. Maaf, aku lupa. Aku mengira tadi kau mendengarkan suaraku, mulutku berbusa penuh gairah mengira kau mendengarkannya dengan rela.

Baiklah, tak mengapa, aku akan tetap berbicara!

Cinta! Apakah arti cinta? Mari bersama mejelajah ke dalam dunia fana! Adakah cinta? Dimana cinta? Cari, ayo cari! Dapat? Belum? Oh, tidak. Kemana cinta pergi? Sebentar, aku mau menangis dulu. Aku tidak bisa menemukan cinta.

Hei, coba lihat mereka! Pasangan tanpa cacat tanpa cela! Pasti ada cinta di antara mereka. Lihat, cincin indah melingkar di jari manis mereka. Kau tahu, pasti mereka menikah sudah. Oh, tidak mungkin aku salah. Kali ini aku tidak akan salah! Aku tau pasti, di antara mereka ada cinta.

Lihat, yang pria tampan dan kaya. Yang wanita? Bergengsi dan mandiri! Pasti di antara mereka ada cinta. Sempurna, akhirnya aku bisa menemukan cinta. Sebentar, aku hapus airmataku dulu, aku sudah menemukan cinta!

Hei, apa itu dalam gengaman tangan mereka? Seberkas perjanjian pranikah? Apa maksudnya? Hah, mereka pisah harta? Untuk persiapan jika kelak mereka berspisah? Oh, tidak! Musnah sudah harapan menemukan cinta! Dimana cinta?

Sudahlah, aku lelah sudah! Aku mau pulang saja, mencari bahagia dalam binar-binar mata para malaikat bercahaya. Siapa sangka aku akan menemukan cinta juga di sana.

Aku datang, teriakku! Lihat itu di sana? Rona bahagia memancarlah sudah. Binar-binar mata berpendaran dalam bahagia. Tapi aku masih belum menemukan makna cinta. Sudahlah, mungkin memang sudah tidak ada cinta di dunia.

Hei, hei, tunggu! Aku merasakan sesuatu. Lihat! Lihat, radar cintaku bergetar hebat! Pasti ada gelombang cinta yang dahsyat mengalir di tempat ini. Di mana? Siapa? Dari mana? Aku menjadi gila, gila oleh gelombang cinta. Kejar! Kejar, jangan sampai hilang. Oh, tidak! Radar cintaku hampir meledak.
Pasti begitu banyak gelombang cinta terpancar di sana.

Lari! Aku harus berlari, jangan sampai gelombang cinta hilang sudah.

Apa? Oh, aku kecewa! Itu hanya si Ibu Tua memandikan si Kusta. Mungkin di sana? Huh! Menyebalkan! Itu hanya si Perawan Tua meninabobokan si Buta! Hei, di sana! Halah, itu hanya Pria Tak Berguna memandikan si gila! Dasar Pria Tak Berguna, sudah berkeluarga tapi hidup merana dengan harta seadanya! Bagaimana dengan yang sana? Percuma, itu hanya Wanita Tanpa Cita Rasa mengajarkan nilai-nilai ke orang-orang tak bernilai.

Radar cintaku ternyata rusaklah sudah. Katanya ada banyak gelombang cinta tapi tak satupun yang kasat mata! Aku buang saja! Percuma!

Huaaaah…! Mataku mendadak terbuka, sepertinya selaput mataku luruhlah sudah! Oh tidak, ternyata oh ternyata. Selama ini aku buta, kemudian setengah buta, dan sekarang sudah tidak buta! Aku bersukacita, mataku celiklah sudah! Huraaaa….!

Hei, apakah mataku salah? Begitu banyak malaikat di tempat ini. Bukan saja malaikat-malaikat kecil dengan mata berbinar penuh bahagia. Astaga! Ada juga malaikat dewasa.

Lihat, si Ibu Tua, si Perawan Tua, si Pria Tak Berguna, si Wanita Tanpa Cita Rasa! Astaga, ternyata mereka para malaikat dewasa!

Mereka tak bersayap, tak ada lingkaran di kepala, tak ada cahaya, tapi sungguh mereka para malaikat ternyata.

Lihat! Hati mereka penuh cinta, mereka malaikat cinta! Cinta mengalir, melayang, terpancar, menyebar dari hati mereka. Tak heran, radar cintaku bergejolak dan menggelinjang diterpa gelombang cinta mereka.

Tak kan kubuang radar cintaku, ternyata dia tidak rusak! Radar cintaku lebih peka daripada mataku. Itu masalahnya. Maafkan aku radar cintaku, aku akan menjagamu sampai akhir hayatku.

Cukup! Aku sudah puas! Hentikan! Pencarianku purnalah sudah! Ternyata, aku ada di antara mereka, di antara para malaikat.

Aku berada di rumah para malaikat.

***

http://www.facebook.com/kayukompas

Sabtu, 22 Juni 2013

Jakarta, Shanghai, Jakarta, Bali. Hanya Itu Sayang?

*** Inspired by True Story of A Teacher, Whom I really Respect! Cinta Datang, Berlabuh, dan Pergi! ***

"Bulan depan gue mo married? I don't know. I'm a bit confused now", Luna meringis sambil terus berbicara di telepon genggamnya.

"Hah? Are you sure? Are you crazy or what?", balas Michelle setengah menjerit dari seberang.

Luna mumet setiap kali mengingat tanggal pernikahannya yang makin dekat. Tempat curhat terbaik tentu saja Michelle. Tidak ada teman yang lebih dipercaya oleh Luna selain cewek gila satu itu. Michelle temen baik Luna sejak mereka studi bareng di negeri Paman Sam. Susah senang bersama, sampai graduation day dan Luna memutuskan pulang ke Jakarta untuk sementara waktu dan Michelle tetap tinggal di US.

"Gila yah gue? Chelle, gue beneran gila gak sih? Aduh mampus deh gue? Masak iya gue married sih? Pantes gak sih? Gue gitu loh?", Luna menarik-narik rambut di dahinya. Kebiasaan setiap kali dia galau. "Botak lu lama-lama", begitu komentar Michelle setiap kali dia menarik-narik rambutnya seperti itu.

"Heh, kalau gila sih, emang lu gila! Dari dulu juga gue tau lu gila! Cuman ini married loh Dear? Married? M-A-R-R-I-E-D? Lu ngerti gak seh? Cuman gue lepas sebulan, lu bisa sesat bgini, aduh mati deh gue!", Michelle geregetan dibuatnya.

Michelle melanjutkan ,"Masak iya sih Lun, cuman satu bulan loh Lun? Apa iya lu yakin? Apa kata lu tadi? Dikenalin sama tante lu? Sama tante lu? Krn tante lu, lu melupakan semua ajaran gue? We are the happiest singles alive on earth my dear! Ini US, you know that right? Britney Spears aja married tiga kali cerai mulu!". Mulai deh si Michelle dengan ajaran sesatnya tentang feminisme dan kebahagiaan hidup melajang.

"Emang sih. Gue dikenalin sama tante gue di pesta nikahan sepupu gue, si Raymond. Namanya Aldo. Dia sepupu jauh gue kalau dirunut dari kakek-nenek buyut gue. Itu kata tante Tiar. Tau deh, gelap! Orangnya sih lumayan, cuman kurang dikit sama Keanu Reeves, kurang tinggi dikit, kurang ganteng dikit, kurang...", senyum-senyum sendiri Luna membayangkan cowok itu.

"Eh bego! Itu mah bukan kurang dikit! Lu tuh ye, percuma lu kuliah jauh-jauh, otak lu gak berkembang juga! Heran gue!", sentak Michelle emosional.

"Tapi gue suka sama dia Chelle. Falling in love at the first sight kali gue yah? Matanya ituloh Chelle, aduh dalam, tajam, tapi meneduhkan. Oh... Sist...", Luna memainkan rambutnya dan kelilipan. Gimana gak kelilipan ujung rambut dipuntir-puntir dicolokin ke mata. Ih kebiasaan kalau sedang galau, kelakuan tak terkendali. "Ciri awal kegilaan", itu selalu kata Luna.

"Ih udah ah, males deh gue. Kurang ganteng apa sih cowok-cowok sini Sist? Mau mata yang gimana juga ada? Lu mau mata biru, ijo, abu, kuning, merah..." cerocos Michelle panjang lebar.

"Kuning, merah, jidat lu kuning merah, lu kata sakit kuning apa mabok? Udah ah, pokoknya gue cuman mau kasih tau. Gue mau married bulan depan, tuh di undangan yang gue kirim ada detilnya. Lu kudu datang! Awas luh sampai gak datang gue musuhin lu sampai akhirat!", kata Luna mengancam.

"Ogah gue, lu harepin tuh banyan gue datang. Not even in your dream my dear! You wish! Forget it!", sentak Michelle dengan kesal.

"Tut..", bungyi telepon dimatikan. Dalam hati Luna tahu persis sohibnya itu pasti datang, tidak perduli seberapa marah dia sekarang.

"OMG, bentar lagi gue jadi Nyonya Aldo. Ya Tuhan, bakal nyesel gak sih gue? Auuuu..., aduh!", tanpa sadar Luna menjerit. Kali ini, beberapa helai rambut rontok dari keningnya, tercabut dari akar.

"Beneran botak nih gue! Biarin deh, egp! Ntar lagi juga gue udah jadi emak-emak!", Luna menghempaskan tubuh ke tempat tidur dan menutup wajah dengan bantal.

***

Sebulan kemudian, seminggu menjelang pernikahan, Aldo sudah tiba di Jakarta. Dia cuma mendapatkan cuti dua minggu dari kantor. Maklum, Aldo bekerja sebagai seorang engineer lapangan di salah satu perusahaan pengeboran minyak lepas pantai berskala internasional. Kesibukan tidak memungkinkannya untuk cuti lama-lama. Rencananya setelah mereka menikah nanti, Aldo akan mengajukan permohonan untuk mendapatkan jatah shitf bekerja di laut dan darat. Sebagaimana biasanya karyawan pengeboran lepas pantai yang sudah berkeluarga.

"Wajahnya yang kecokelatan dengan tubuhnya yang kekar, dia memang mempesona", bisik Luna dalam hati sambil memperhatikan calon suaminya.

"Hi Sayang, gimana persiapannya?", sapa Aldo dengan ramah dan bersahabat. Tidak ada kesan kaku dalam suaranya, bahkan sekalipun mereka baru akrab dalam dua bulan ini.

Keluwesannya, itu salah satu yang membuat Luna tidak bisa mengalihkan pandangan dari wajah laki-laki itu, saat mereka bertemu dulu. Senyumnya yang lebar, matanya yang tajam dan teduh, tapi jenaka ketika dia tertawa, alis matanya yang hitam dan lebat. "Seperti ulat bulu", begitu kata Luna dalam hati, "bergerak-gerak setiap kali dia dengan semangat menanggapi cerita dari setiap lawan bicaranya.".

"He is the one!", tanpa sadar Luna mendesis.

"Eh, kenapa?", tanya Aldo.

"Sorry nih, telingaku rada budeg, habis kebanyakan digerocokin sama mesin bor hahaha...", Aldo tertawa renyah memamerkan barisan gigi putih bersih yang tumbuh teratur di rahangnya.

"Gak, cuman iseng doang. Aku suka mendesis kalau gugup", menyadari jawabannya, cepat-cepat Luna menambahkan dalam hati ,"Ular kale, mendesis!".

***

Pernikahan itu berlangsung hikmat. Beberapa butir air mata menetes di pipi Luna ketika dia mengucapkan kalimat sakti itu.

"I do!", meneteslah sudah air bening hangat itu.

"Aduh, kok aku nangis sih? Malu nih...", buru-buru, dia mengusap airmatanya.

Aldo tersenyum ," Gak apa-apa, itu biasa". Dia kecup lembut kening Luna.

"Hah? Dia nangis juga? Hihi anak cowok, kerja lapangan, gagah begini, cengeng juga...", kata Luna. Orang gila, di tengah prosesi begini, masih aja.

"Syukurlah, bukan cuma gue dan suami gue yang nangis.", kata Luna lagi ketika Michelle menyalaminya sambil menangis terisak-isak sampai ingusnya meler segala.

"Ih norak deh lu! Sampai ingusan begitu.", sergah Luna sambil berpelukan.

"Enak aje lo? Lu kira gue nangis karena lo? Gue nangis karena cowok di posisi jam 02PM dari arah elo. Lun, mungkin bentar lagi gue nyusul lu!", bisik Michelle sambil terisak-isak norak. Antrean salaman mulai mengular karena Michelle berlama-lama dengan pengantin.

"Ih, kebangetan lu! Udah ah, sana!", Luna mendorong Michelle ,"Makasih ya Sist, I love you!".

"Love you too Darling!", balas Michelle sambil berpindah ke Aldo.

"Eh, selamat yah!", kata Michelle menyalami Aldo ,"Eh, gue serius nih Mas, lu jagain tu temen gue. Sampe lu apa-apain dia gue cari lu ke ujung bumi! Gara-gara elu, cita-cita kita berdua jadi single paling bahagia di muka bumi batallah sudah!". Michelle tersenyum manis sambil mengedipkan mata ke Luna.

Aldo bengong, tidak kenal, tidak tahu siapa! Dia menatap Michelle, Luna, Michelle lagi. Bingung!

"Eh, ngomong apa lu? Sana lu!", Luna melotot mengancam Michelle sambil tidak lupa memasang senyum di bibir menyalami entah siapa saja tamu di depannya.

"Prosesi pernikahan yang indah, pesta yang meriah", kata Tante Tiar dengan bangga ,"Bener kan Lun, pilihan Tante". Si ganjen Tante Tiar tersenyum penuh arti sambil menyalami Luna dan Aldo.

"I Love You!", kata Aldo tiba-tiba ketika mereka berada di mobil pengantin dan mencium bibir Luna begitu dalam, nyaman, dan nikmat.

"Ow... ow...ow... aduh menyesal gue!", kata Luna dalam hati ,"Tau gini enak, gue married dari kapan taon kale! Ngapain juga gue capek-capek kuliah ke US, toh dapatnya buatan lokal juga!".

***

Dua hari setelah pernikahan, Aldo dan Luna terbang ke Shanghai, China, menyiapkan rumah tinggal mereka dan membereskan beberapa barang-barang Aldo. Khususnya barang-barang yang layak. Layak dibuang maksudnya.

Dalam seminggu seluruh perlengkapan untuk hidup bersama mereka di Shanghai sudah selesai disiapkan. Beruntung, Aldo memperoleh cuti seminggu untuk liburan bulan madu mereka.

"Bali!", Aldo dan Luna sepakat tujuan bulan madu mereka. Mereka tergila-gila dengan pantai, berenang, snorkling, dan diving. Banyak laut dan pantai di dunia ini, tapi untuk momen-momen paling bahagia kali ini, sepertinya Kuta yang paling baik.

"Sekalian balik ke Jakarta, kangen orang tua!", kata Aldo. Luna mengangguk dan memeluk mesra suaminya.

Hari-hari berlalu begitu cepat dalam balutan kebahagiaan pengantin baru. Seminggu sudah sejak hari pernikahan mereka.

"Semua terasa indah bagai di surga", tulis Luna dalam pesan singkatnya ke Michelle.

"Aduh Sist, jangan bikin gue pengen buru-buru donk hehehe...", bales Michelle.

Setelah penerbangan yang memakan waktu lebih dari enam jam, akhirnya Aldo dan Luna tiba di jakarta. Kunjungan singkat ke rumah orang tua Luna, kemudian mereka naik taksi dan menginap di rumah orang tua Aldo.

"Aldo kangen Papa-Mama!", begitu kata Aldo sambil memeluk erat Papanya.

"Ada apa? Kok tumen-tumbennya kamu pakai kangen-kangenan? Dulu waktu masih sendiri juga gak pernah kangen. Sekarang sudah punya isteri kok malah kangen Papa-Mama?", suara Papa Aldo terdengar dalam dan lembut.

"Sudah Pa! Namanya anak kangen, kok ditanya ada apa?", gantian Mama Aldo memeluk anak dan menantunya.

"Aldo kangen Ma!", bisik Aldo lagi.

"Hmmm, kambuh nih cengengnya, dasar anak Mami!", bisik Luna dalam hati. Dia terharu melihat suaminya bisa begitu dewasa dan melindungi dia. Tapi, di saat-saat seperti ini, dia hanya seorang anak kecil dalam pelukan Papa-Mamanya.

Tiga hari mereka berada di Jakarta, Aldo dan Luna terbang ke Bali. Kuta dengan pantainya yang indah menjadi tujuan mereka.

"I want to swim for the rest of my life!", begitu kata Aldo sambil menyiapkan peralatan renangnya. Peralatan snorkling, celana renang, sepatu katak, kacamata, sunscreen sudah masuk di dalam koper peralatan berenangnya.

"Do, kamu jauh-jauh kerja di China, Luna kuliah di US, lah kok bulan madu malah ke Bali? Itu gimana?", tanya Papa Aldo waktu mereka siap-siap berangkat naik taksi ke bandara.

"Justeru itu Pa, udah lama bener nih gak ke Bali! Kapan lagi? Iya kan Lun?", tanya Aldo sambil mengerling ke Luna.

"Iya Pa, yang lain bisa nyusul kata Aldo! Udah bikin daftar kunjungan kok Pa. Masih untung kalau gak dirotasi ke Afrika! Mumpung bisa, mending ke Bali dulu Pa!", Luna tersenyum dan memeluk Papa dan Mama mertuanya dan masuk ke dalam taksi. Mereka melambaikan tangan sampai taksi berbelok di pertigaan jalan.

***

"Untung kita gak terbang sorean, Hun", kata Aldo sambil menaruh ransel ke pundaknya ,"mudah-mudahan bisa ngejar sunset".

Dengan kamera tergantung di lehernya dan tas ransel di punggung, koper kecil peralatan berenang di tangan kanan, Aldo meraih tangan Luna dengan tangan kirinya. Dengan mantap dia menuntun Luna mencari taksi untuk membawa mereka secepatnya ke hotel. Sebuh hotel dengan pantai pribadi di belakangnya. Sempurna untuk menuntaskan kegilaan Aldo dan Luna akan laut.

Dua jam kemudian, mereka sudah berbaring di pantai dengan pakaian renang masing-masing, menikmati indahnya sunset.

"I love the Ocean...!", kata Luna menghirup udara laut dalam-dalam.

"Aku mau renang dulu, mau ikutan gak?" tanya Aldo sambil bangkit berdiri.

"Gak ah, udah kesorean, besok aja!", jawab Luna.

"Ya udah, you take care my stuffs please?", Aldo melepaskan kamera dari lehernya dan menaruhnya di samping Luna.

"Hati-hati loh Hun, udah mulai gelap. Ombaknya juga lumayan tuh...", kata Luna sambil menunjuk ombak yang bergulung-gulung di tengah laut.

"Aye-aye Mam! Gue gak kan berani macem-macem! Promise!", kata Aldo sambil memberi hormat gaya kelasi kapal.

"Go, ntar keburu malam!", Luna mengibaskan tangan sambil tertawa pelan.

"Take care babe!", kata Aldo melambaikan tangan sambil berlari-lari kecil ke dalam laut.

Luna kembali berbaring di tepi pantai menikmati sore. Lama sekali rasanya dia tidak menikmati keindahan pantai Kuta. Sekali lagi dia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perasaan puas.

Sebentar dia menoleh ke laut, ke arah Aldo yang asik berenang.

"Boy is a boy! Gak peduli udah jadi suami, bapak, atau kakek! Tetap aja!", kata Luna dalam hati, geli melihat tingkah laku Aldo berjumpalitan sendiri di air.

Luna menutup mata dan setengah tertidur menunggu Aldo. Ketika dia terjaga, hari sudah mulai gelap.

"Udah gelap aja nih, mending balik ke hotel, dinner! Besok masih banyak agenda", kata Luna berbicara sendiri.

"Mana Aldo?", Luna mencari-cari Aldo di air. Di pantai juga tidak ada. Masak iya Aldo balik ke hotel? Gak mungkin.

"Aldo!!!!! Hun!!!!", teriak Luna ,"Kamu dimana? Jangan bercanda ah, udah malam nih!".

Luna mulai cemas, Aldo bukan tipe orang yang suka bercanda seperti ini.

"Aldo!!! Hun!!! Kamu di mana?", teriak Luna kembali. Tapi suaranya hilang ditelan deburan ombak.

Luna berlari ke hotel dan memeriksa kamar ,"Masih terkunci!", Luna hampir menangis. Jantungnya berdegup kencang, tidak mungkin Aldo bercanda keterlaluan begini.

Dia lari lagi ke pantai, sekarang Luna masuk ke air, mencari-cari.

"Aldo!!! Aldo!!!", teriakan Luna hilang ditelan deburan ombak lagi. Dia mulai putus asa.

"Ya Tuhan, masak iya sih? Ya Tuhan tolong...!", Luna mulai menangis, dia meremas-remas tangannya. Airmata deras mengalir di pipinya.

"Aldo jago berenang, jago diving, masak iya sih?", Luna mulai meracau sendiri. Seperti orang linlung, dia berlari ke sana kemari, berteriak sampai suaranya parau.

Luna berlari ke hotel.

"Pak, tolong Pak! Suami saya! Dia hilang di laut!", kata Luna sesenggukkan.

"Hah? Hilang dimana Mbak? Tenang Mbak, tenang! Tolong-tolong, ada yang hilang di laut!", si Bapak petugas keamanan ikut berteriak panik.

Luna berlari lagi ke laut disusul Bapak itu, beberapa laki-laki lain berlari mengikuti mereka. Ombak terlihat cukup tinggi dan menghempas-hempas ke pantai.

Bermenit-menit mereka semua berteriak, mencari, masuk ke dalam air, namun tidak menemukan Aldo.

Luna mulai lemas, dia jatuh terduduk, bersimpuh di pantai ,"Ya Tuhan!", isak Luna.

Beberapa petugas kepolisan mulai berdatangan dan petugas Tim SAR mulai mencari dengan peralatan seadanya, bahkan ada yang menggunakan speadbot mulai menyusuri pantai.

"Tenang Mbak, tenang.", kata seorang polisi kepada Luna yang menangis tidak terkendali.

Mereka memapah Luna kembali ke hotel.

"Ada keluarga yang Mbak bisa hubungi?", tanya polisi itu dengan lembut.

Melintas raut wajah Papa dan Mama Aldo ketika memeluk anaknya.

Luna menjerit ,"Tidak Mungkin!!! Aldo tadi masih di sana! Ya Tuhan!!! Masak iya sih? Ya Tuhan! Gak Mungkin!", Luna menendang polisi yang ada di depannya.

Polisi itu kaget dan terjengkang. Tapi dengan sabar dia bangkit dan merangkul menenangkan Luna lagi.

"Berdoa Mbak, berdoa.", bujuknya sambil merangkul Luna dengan sedikit paksaan karena Luna masih berontak. Sekarang bahkan suara Pak Polisi itu mulai terdengar serak. Luna melihat dia hampir menangis juga.

"Diam! Aldo masih di sana tadi! Aldo masih di sana! Diam! Ya Tuhan, tolong...!", lolong Luna.

Berpuluh-puluh orang mengelilingi Luna yang menggelosor dari kursi jatuh terduduk di lantai lobi hotel. Semua memandang iba, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Butuh hampir dua jam untuk Luna menenangkan diri dari shock. Tidak terhitung kata-kata hiburan yang lalu di telinganya hanya berupa dengungan tidak bermakna.

"Ya Tuhan, tolong aku! Kuatkan aku!", Luna menangis terisak-isak, tangannya terkepal, dan matanya tertutup.

"Tidak mungkin aku telepon Papa dan Mama Aldo, apa yang harus aku bilang? Aldo mati! Hilang tenggelam di dalam laut? Aaaaaahhhhhh... Aldo!!!", Luna menjerit lagi.

"Aku harus telepon Mami!", kesadaran Luna muncul.

Dia bangkit dan mencari-cari telepon genggamnya.

"Ini Mbak.", kata Polisi tadi.

"Terimakasih", kata Luna.

"Luna, ada apa? Gimana Bali?", suara Mami terdengar ramah dan ceria.

"Mami....!!!!", Luna menjerit sekuat tenaga ,"Mami, Luna udah gila Mami! Luna udah gila!".

"Luna, ada apa Nak? Ya Tuhan, ada apa?", suara Mami gemetaran karena takut.

"Luna, ada apa?", suara Papi terdengar di seberang. Dalam dan berwibawa. Tapi tetap tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.

"Papi...!!!", Luna menjerit lagi, kali ini suaranya melemah. Dia terjatuh, hampir pingsan. Papi satu-satunya selain Aldo yang bisa memberi rasa aman bagi Luna.

"Luna! Luna, dengar Papi! Luna! Luna!", Papi berteriak dari seberang ,"Kamu tenang, bilang ada apa!".

"Aldo hilang Pi", Luna berbisik setengah sadar setengah linglung ,"tenggelam berenang di laut! Aku... pantai... tertidur...". Kalimat Luna mulai tidak jelas, dia linglung dan pingsan.

Pak Polisi yang sedari tadi menunggui Luna mengambil telepon genggamnya.

"Halo! Luna! Luna! Jawab Papi! Luna...!", suara Papi masih terdengar dari seberang. Suaranya meninggi dan tercekik, tidak dalam dan berwibawa seperti biasa.

"Selamat Malam Pak, dengan Kapten Robi di sini. Saya dari kepolisian Pak. Saya mendampingi anak Bapak, Mbak Luna di sini.", Pak Polisi yang bernama Kapten Robi berbicara menggantikan Luna.

"Selamat malam Pak. Ada apa sebenarnya Pak? Saya benar-benar khawatir!", tanya Papi Luna.

"Begini Pak, sepertinya suami Mbak Luna yang bernama Aldo hilang tenggelam di dalam laut. Tapi itu masih perkiraan Pak, karena tidak ada saksi di tempat. Mbak Luna juga tidak menyaksikan langsung. Kami sudah mencoba melakukan pencarian tapi tidak ada tanda-tanda yang ditemukan Pak. Kami akan tetap mencari Pak.", Kapten Robi menjelaskan panjang-lebar.

"Bagaimana mungkin Pak Robi? Tapi mereka baru tiba di Bali hari ini? Tolong anak saya Pak, dia pasti bingung saat ini. Tolong juga cari menantu saya sampai dapat! Kami akan datang secepatnya.", Papi Luna menutup telepon setelah mengucapkan terimakasih.

Malam itu terasa begitu panjang, tapi rasanya semua bergerak sangat cepat di luar batas kesadaran, semua orang bergegas-gegas dalam kesedihan bercampur kebingungan. Antara percaya dan tidak.

Tadi Papi Luna sudah memberitahukan langsung kabar buruk itu kepada keluarga Aldo. Papa dan Mama Aldo terpukul sekali. Bahkan Mama Aldo sampai tidak sadarkan diri.

"Aldo, kamu bilang kangen Papa-Mama, tapi kenapa malah pergi? Aldo...!", hanya itu yang sempat dia ucapkan sebelum tergeletak lemas tak sadarkan diri.

Seminggu pencarian itu berlangsung, bahkan perusahaan tempat Aldo bekerja sampai menurunkan satu unit helikopter untuk menyusuri seluruh kawasan pantai yang diperkirakan sebagai aliran arus laut, baik arus bawah maupun arus atas dari arah Pantai Kuta tempat Aldo hilang. Tidak ada jejak ditemukan.

Luna seperti orang tidak sadarkan diri, hanya diam dan termenung. Sebentar dia berjalan ke pantai, sebentar dia duduk meremas-remas pasir menatap jauh ke laut lepas, dia remas pasir basah itu dan ditaruh di atas kepalanya. Mami Luna dan Michelle yang terus mendampinginya hanya bisa menangis menyaksikan pemandangan itu. Mereka memeluk Luna.

"Aldo, bawa aku bersamamu!", Luna meringis setengah menangis.

"Ya Tuhan, kalau memang Aldo tenggelam. Aku berdoa biarlah dia tidak ditemukan. Aku tidak akan sanggup melihatnya. Biarlah aku mengenang dia, Aldo suamiku, dengan senyumnya yang lebar, matanya yang tajam tapi meneduhkan, wajahnya yang kecokelatan, dan tubuhnya yang kekar!", Luna berbisik sambil terus melumuri tubuhnya dari kepala sampai kaki dengan pasir pantai.

"Aldo, bawa aku bersamamu! Kalau kau mengarungi lautan, bawa aku bersamamu! You told me that you will swim for the rest of your life. Why don't you just take me with you?", mulut Luna terus berkomat-kamit berbicara sendiri.

"Kamu curang, kamu bilang Kuta yang pertama, yang lain sudah di dalam daftar kunjungan kita. Tapi kamu curang, kamu malah pergi sendiri. Hehehe... janji apaan?", airmata mengalir derasa di pipi Luna, tapi mulutnya malah tertawa sinis.

"Bagaimana dengan Afrika? Bahama?", dia tersenyum lagi, semakin sinis.

"Cuma Jakarta, Shanghai, Jakarta, dan Bali! Kamu udah Pergi! Hanya itu Sayang?", airmata mengalir lagi membasahi wajah Luna.

"Aku tidak akan gila Do! Aku tidak akan gila! Aku tidak akan gila!", Luna mulai berbaring di pantai dan menutup mata, membayangkan hari ketika Aldo pergi bersama ombak ke laut lepas.

"Luna, bangun sayang. Ayo bangun. Anak manis, ayo sayang. Kalau Luna mau tidur, di kamar aja yuk.", bujuk Mama dengan lembut. Luna diam saja.

"Aldo, bawa aku bersamamu!", bisik Luna.

***

Tujuh belas tahun sudah sejak hari itu. Tujuh belas tahun pernuh airmata, kegilaan, dan keputusasaan.

"Kalau bukan Tuhan, aku sudah gila Do!", bisik Luna sambil memandangi foto Aldo yang tersenyum lebar.

"Hanya dua bulan kita bertemu, kita menikah! Hanya dua minggu masa pernikahan kita! Bulan madu saja gak sempat! Apa gak pantas kalau aku gila Do?", airmata mengalir lagi di pipi Luna.

"Tiap hari, aku hanya diam. Kadang aku tidak berfikir apapun, tapi air mataku mengalir deras. Di jalan, di bis, di taksi, di mobil, di kamar. Aku heran, kenapa airmataku gak habis-habis Do?", kata Luna lirih.

"Orang-orang melihatku, berfikir aku stress, aku gila! BTW Hun, you know what? I've never been to Bali for these seventeen years, not at all! Not even any single beach I have visited since the moment you dissapeared!", suara Luna menggerung.

"Tapi Do, enough is enough! Aku pikir waktunya aku melanjutkan hidup. Life must go on! See you Hun, perhaps not on this earth, not in the sea that we ever loved. I'll see you in heaven. One day!", Luna menyimpan foto Edo yang terakhir ke dalam peti kayu kecil yang tergeletak di lantai. Dipakunya peti itu, dia simpan ke dalam gudang. Dia berdiri sambil menghapus airmatanya.

***

"That's the story of me Pak", kata Miss Luna saat itu kepadaku.

"Oh, I'm really sorry to hear that. I can't imagine what you've been through Miss." kataku sambil menahan airmata.

"It's OK Pak, I'm fine now. Thanks be to God! Life must go on!", kata Luna tersenyum.

Oh Miss Luna, betapa kagum hatiku melihat ketabahan dan kekuatanmu ketika itu.

"Be strong Miss Luna, all these children need you more than you know.", kataku dalam hati memandang anak-anak muridnya yang berlarian ke sana kemari.

The End.


http://www.facebook.com/kayukompas

Teknik Pemasaran

 
*** Ini bukan puisi, ini hanya opini ***

Ada bermacam-macam teknik pemasaran.
Ada yang menjelekkan diri.
Ada juga menangisi diri, seolah ia terzalimi.
Ada yang hendak bunuh diri.
Ada juga menyesali diri, minta dikasihani.

Dalam hati, dia bertepuk dada, bangga!

Akulah bintang utamanya!
Akulah orang pentingnya!
Akulah segala-galanya!
Akulah kebenarannya!

Yang lebih bersahaja? Banyak?
Yang lebih pongah? Kurasa tak ada!

Lihatlah aku!
Puisiku!
Komentarku!
Inilah Aku!

Akulah si penulis puisi terciamik!
Jempol untukku, fantastik!
Komentar untukku, menarik!
Inilah aku, si penulis puisi terciamik!

*** Teknik Pemasaran oh Teknik Pemasaran, Gara-Gara Dia, Banyak Karya Yang Tak Sempat Tampak ke Permukaan Dan Mendapatkan Perhatian ***

http://www.facebook.com/kayukompas

Jumat, 21 Juni 2013

Akika Tinta Mawar Nek!

"Buseettt..., cakep bener tuh cewek!", turun-naik jakun Mike menelan liur ketika pertama kali melihatnya. Naluri laki-lakinya berkata bahwa dia harus mendapatkan cewek itu. Belum pernah dia melihat cewek secantik itu. Bukan hanya cantik, seksi, anggun, sempurna.

"Astaghfirullahaladzim..., ngucap Mike, ngucap!", dia antuk-antukkan jidatnya ke setir mobil sambil melotot tak berkedip melumat setiap jengkal pemandangan di diri cewek itu. Setengah mati Mike berjuang mengendalikan nafsu dan hasratnya untuk mengejar dan mendapatkan cewek itu.

"Kalau saja di jalan ini boleh berhenti, gue parkir nih! Sialan!", Mike memaki sambil menghantam setir mobilnya dengan telapak tangannya.

Mike si playboy kampus, siapa sih cewek yang gak mau? Banyak cewek cantik yang sudah berhasil dirayu dan ditaklukkannya, sebagian bahkan sudah dilepeh. "Bosen", katanya.

Tapi cewek yang ini, beda banget! Dia mampu membuat Mike blingsatan sendiri di dalam mobilnya. Cewek itu turun dari taksi masuk ke dalam salon kecantikan beberapa ratus meter dari kampusnya.

"Pasti dia anak orang kaya yang lagi mau perawatan tuh? Apa tuh nama salonnya?", Mike cepat-cepat mengambil telepon genggam dan mengetikkan beberapa huruf di BBM dan mengirimkan ke temen dekatnya Deni.

"Apaan neh?", balesan dari Deni.

"Udah diem aja, jgn dihps! Pntg! Urgent! Mission Critical Lvl 1!", Mike membalas BBM itu dengan cepat.

"Halah pakai pending segala lagi, katrok ni!", dengan kesal dia lempar BB ke jok mobil.
Mission Critical Level 1, artinya ada buruan dengan kualitas nomor wahid! Semua anggota geng harus berkumpul untuk pembahasan dan menentukan langkah selanjutnya.

Sore itu, Mike, Deni, Andre, dan Diding sudah berkumpul di kafe tempat biasa.

"Aje gile, gue jatuh cinta Man", Mike membuka meeting dengan tampang masam.

"Hah? Jatuh cinta? Yang bener loh? Orang kayak lo? Orang kayak kita maksud gue, jatuh cinta??? Sakit lo man!", dengan muka bego, Diding menggeleng-geleng tidak percaya.

"Eh, gue serius nih. Lu mau bantu kagak?", Mike sedikit kesal ,"Man, siapa tau ini memang jodoh gue. Harus gue perjuangkan. Solmet bro, solmet!".

Rapat hari itu berakhir dengan kesimpulan, bahwa setiap anggota geng harus berusaha dan bekerja sekeras-kerasnya untuk mengumpulkan informasi seputar cewek misterius itu.

***

Beberapa hari kemudian, rapat dadakan kembali digelar. Kali ini karena ada beberapa laporan mencurigakan dari Andre.

"Mike, kok solmet lu ke salon tiap ari sih? Gak bosen apa? Gue heran ngapain aja tuh cewek di salon?", begitu laporan Andre.

"Jangan-jangan, dia banci salon kale!", Deni ketawa ngakak.

"Man, sekali lagi lu ngomong gitu! Gue bikin jadi banci salon beneran lo!", Mike meninju pundak Deni keras-keras. Mukanya merah, keliatannya dia beneran tersinggung.

"Maaf bro, gitu aje, panas amat... Iye tau-tau yang lagi jatuh cinta!", Deni cepat-cepat minta maaf takut Mike semakin marah.

Memang boss satu ini cukup temperamental dan teman-temannya tahu itu. Dengan ringan, dia bisa melancarakan jurus-jurus karatenya. Sekali waktu, seorang cowok dari kampus lain pernah dihajar oleh Mike dan harus masuk RS.

***

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, penantian itupun akhirnya berakhir.
Dengan menggunakan kaos putih melekat di badan, celana jeans ketat, dan sepatu kets, menonjolkan kegagahan dan otot-otonya yang terlatih, Mike memberanikan diri menemui cewek itu.

Mereka janji akan ketemu di Kafe X, di daerah Senayan. Dengan satu buket bunga mawar ungu dan putih di tangan, Mike melakangkah masuk.

"Nah itu dia, duduk sendiri di meja pojok", kata Mike senang.

Mike melangkah cepat dan sekilas dia menyapukan pandangan sekeliling. Ada yang aneh, aura tempat ini.

Dia melangkah dengan gagah dan sampailah dia di meja itu.

"Hi, gue Mike", kata Mike mengulurkan tangan.

"Hi juga, gue Jane", dia membalas dengan suara agak tinggi dan tercekik.

"Aneh", pikir Mike ,"tapi mungkin dia sedang sakit tenggorokan".

"Hmmm, anu, gue, gue suka sama elu. Gue pengen jadi pacar lu! Lu tau kan? Temen gue Deni udah nyampein surat dari gue buat elu kan?", tidak biasanya Mike terbata-bata seperti ini.

"Iya, sudah", masih dengan suara tinggi dan tercekik si cewek menjawab.

"Elu bener, mau jadi pacar gue?", tanya Jane.

"Iya, benar. Oh iya, gue sering kali melihat lu masuk ke salon X itu? Apa iya lu perawatan tiap hari? Atau jangan-jangan lu yang mengelola tempat itu?", tanya Mike dengan hati-hati.

"Bukan, gue kerja di sana.", jawab Jane.

"Deg", jantung Mike hampir berhenti teringat omongan iseng Deni.

"Oh, tidak apa-apa, seorang perempuan bekerja di salon. Mungkin memang dia solmet gue, kenapa gak? Gue bisa menafkahi dia dan anak-anak gue kelak. Jadi dia gak perlu kerja lagi.", kata Mike dalam hati.

"Sungguh Mike, lu mau jadi pacar gue? Gue belum pernah jalan serius sama cowok, apalagi seganteng lu!", kata Jane dengan manja sambil menggenggam tangan Mike.

Sekarang giliran Mike yang mulai keringat dingin.

"Apa-apaan nih? Biasanya, gue yang bikin cewek keringat dingin? Kenapa sekarang gue yang keringat dingin?", batin Mike.

"Mike, kok diem aja sih? Sebelum kita jadian gue ingin kita saling terbuka Mike. Kalau lu memang sungguh-sungguh mencintai gue.", remasan tangan Jane mulai menjalar sampai ke lengan Mike yang berotot.

"Oh, iya pasti.", Mike pun gelagapan dibuatnya.

"Mike, Jane itu nama gue setelah di Jakarta ini. Dulu waktu di kampung nama gue Jono!", kata Jane dengan suara serak-serak menakutkan.

"Hah?!? Apa?!? Jadi, jadi, lu dulu cowok?", wajah Mike membiru seketika.

"Ihhh Mike jangan gitu donk, akika tinta cowok nek, akika shemale!", tangan Jane atau Jono atau siapapunlah namanya mulai meremas pundak Mike.

"Masya Allah, tolong!!!!", tanpa sadar Mike melepaskan salah satu jurus karatenya yang berjudul 'melepaskan diri dari kuncian'.

Mike berlari tertatih-tatih karena shock yang tidak tertahankan. Tidak perduli berpuluh-puluh pasang mata yang melihatnya dan Jane yang memanggil-manggil dari belakang masih dengan suara tinggi dan tercekik.

"Akika Tinta Mawar Nek!", jerit Mike sekuat-kuatnya, kali ini juga dengan suara tinggi dan tercekik.

http://www.facebook.com/kayukompas

Abang Cinta Adek, Ada Pertanyaan?

*** Inspired by ‘true story’. Tapi jangan percaya dulu, persentasenya masih diragukan menunggu penelitian lebih lanjut dan rapat khusus dengan pihak-pihak terkait. ***

“Tigoorrrr….!!!”, teriakan perempuan paruh baya itu menggelegar. Bahkan si Kurik, ayam jago dengan bintik-bintik hitam putih di bulunya, tersentak dan berhenti berkokok.

“Anjrittt”, kata si Kurik dalam hati ,”mampus gue, suara gue ketelan nih, kentang nih kentang, kena tanggung… bisa-bisa suara gua turun satu oktaf… oh noo… oh yess… hussshh apaan sih?”. Si Kurik sibuk mengomel dalam hati, baru tahu dia rasanya keselek suara sendiri. Sekalinya dia keselek adalah saat mencicipi cacing tanah pertamanya yang gemuk, panjang, dan berlendir. “Hmmm… yummy”, kata si Kurik mengingat kenangan indah itu. Waktu itu keseleknya lebih asik, sakit sih, tapi enak. “Ngeri-ngeri sedap gitu deh”, kata si Kurik sambil mengedipkan sebelah mata berbangga di depan teman sejawatnya.
 
“Tigoorrrr….!!!”, sekali lagi perempuan itu berteriak menggelegar.
 
“Kupret dah si Tigor…, kagak bener nih.”, si Kurik terlompat dari khayalannya, empedalnya meloncat menutup kerongkongan.

“Si Tigor gak bener nih, harus dikasih pelajaran nih anak. Tiap ari gelantungan di pohon, udah kayak kuntilanak! Baringan di dahan, earphone menempel di telinga, mulut komat-kamit merapal, badan bau menyan. Ih gak banget, rusak nih anak. Anak muda seperti ini? Mau dibawa kemana bangsa dan negara ini? Hihihi…,” si Kurik tertawa sendiri merasa lucu.

Tidak jauh dari tempat si Kurik sedang melirik ayam betina milik tetangga sambil menggerak-gerakkan jenggernya, di atas sebuah pohon dengan bunga indah berwarna-warni bermekaran di sana-sini, seorang anak muda yang tampan, gagah, dan rupawan tengah asik berdendang ,”I know I love you before I met you…”. Itulah Tigor, kumbang jantan kebanggaan desa. Masih perjaka tingting, katanya.

Tigor merintih, menggeliat, dan mendesah mendendangkan lagu cintanya, sampai tiba-tiba ,”Plak…!”. Suara tepokan keras terdengar ketika sendok goreng panas berkilau dengan sisa minyak mendidih mendarat di paha mulus Tigor. Momentum yang timbul dari tumbukan dua benda keras itu, memaksa Tigor menaikkan nada nanynyiannya bahkan merubah syairnya.

“Mamak…, aduh Mamak…, kenapa kau pukul aku Mak?”, Tigor menjerit tak karuan terguling dari dahan. Refleks, dia merangkak menjauh dari sumber petaka. Tidak percuma Tigor berlatih baris-berbaris di Pramuka.

“Ih, apa hubungannya coba?”, kata si Pohon. Katakanlah naman pohon itu si ‘Melati.’

Itu nama pemberian Tigor, katanya Melati adalah sebuah kombinasi yang sempurna dari Cantik dan Seksi. Tigor menggunakan rumus persamaan matematika ketika menemukan nama itu. Beruntung sekali Tigor, punya guru matematika yang hebat dan dahsyat seperti Maria Tega. “Anak-anak, pagi ini kita akan memulai belajar matematika yang zuuppperrr”, begitu selalu kata Maria Tega sambil
tersenyum dan membuka kedua kakinya. Ouupsss, maksudnya membuka kedua kakinya supaya berdiri seimbang selama dua jam. Aduh, jangan ngeres donk. Kalau kamu ngeres, apalagi aku kan? Kasian kan aku?

“Jika Ayam Jantan Bulukan sama dengan si Kurik, Pria Gagah Tampan dan Rupawan sama dengan Tigor, maka Wanita Cantik dan Seksi sama dengan … (titik-titik)”, kata Tigor sambil menuliskan persamaan itu di lembaran otaknya yang tidak lebih luas dari daun kelor.

“Isilah titik-titik di atas dengan jawaban yang benar: a. Mamak, b. Melati, c. Mpok Mindun”, Tigor melanjutkan.

Lama Tigor membandingkan ketiga sosok wanita itu, sungguh sulit baginya. “Hmmm, tidak kusangka sesusah ini persamaan matematika.”, batin Tigor.

Tigorpun memaksakan processor di otaknya untuk bekerja, meskipun sedikit karatan, tapi dia bersikukuh.

“Konsentrasi apa ngeden sih Mas Tigor? Ih, untung gue belum jadian sama dia.” kata si ‘Melati’ pohon nyinyir ke-geer-an.

“Ngggit… ngiiittt… ngiittt”, bunyi infrasonik terpancar dari otak Tigor yang bergesekan karena dipaksa bekerja setelah sekian lama diam dan berkarat. Kasihan hewan-hewan malang bertelinga infrasonik.
Pilihannya cuman dua, mereka jadi tuna rungu atau Tigor gagal otak. Tinggal kuat-kuatan mana nih.

Perlahan, melintaslah bayangan si Mamak, perempuan paruh baya itu, berjalan dengan daster kedodoran yang sudah kumal dengan banyak noda menempel.

“Hmmm, kalau tidak ada si Mamak, siapa pula yang memasak untuk aku? Mamak memang tidak Seksi dan tidak Cantik, tapi masakannya mak oi, suka kali pula aku!”, si Tigor mengelus-elus perutnya yang rata dan six packs.

Menyusul setelahnya bayangan si Melati, perempuan bahenol, dengan dua jerawat batu di mukanya. Kembang desa yang hampir tak terjangkau oleh Tigor.

“Aduh, manis kali pula kutengok jerawat batunya itu. Kayak Christine Hakim dia kutengok kalau kuliat jerawat batu di dibirnya. Tapi dia incaran si Poltak, si raja muka berminyak! Bah, dihantam pula aku nanti sama si Poltak”, si Tigor pun manyun membayangkan otot-otot si Poltak yang berisi ,”bak padi bunting”, kata si Tigor.

Kemudian siluet Mpok Mindun melintas di kepala Tigor, seperti gulungan kaset rusak ,”Toeoeoeoeoengg…. toeoeoeoengg…”, terbayang Mpok Mindun dengan kembennya yang melorot, bibir penuh gincu merah cabe, dan betis yang tersingkap dari kain panjangnya.

“Aduh mak oi, mana tahan aku!”, kata si Tigor sambil menepuk jidat.

Setelah berfikir atau tepatnya melamun sambil setengah tertidur, akhirnya Tigor mengambil sikap tegas.

“Hmmm…, OK-lah kalau begitu, setelah melalui pertimbangan yang masak, aku putuskan jawaban yang benar adalah b. Melati.”, sudah bulat jawaban si Tigor.

“Mas Tigor. Telor masak atau setengah masak, enak mana Mas?”, tanya si Pohon nyinyir mencoba membuat ragu si Tigor dengan jawabannya.

“Ah, kau! Tau apa kau? Kalau telor, ya setengah masaklah. Tapi kan itu telor, ini kan matematika coy”, kata Tigor sambil menuding keningnya. Bangga!

Otak yang dari tadi diam di balik kening Tigor, kelelahan hampir kehabisan nafas dipaksa bekerja, langsung menyembur ,”Enak lu ngomong! Gue yang setengah mati nih. Sampai gue mati, nyaho lu! Lagi enak-enak tidur disuruh kerja!”.

Sejak saat itu, resmilah si Pohon nyinyir dinamai ‘Melati’. Sama dengan si kembang desa, si bahenol dengan dua jerawat batu di wajahnya.

Setiap kali kangen Melati, si Tigor pasti menaiki si ‘Melati’ si pohon nyinyir, kadang dia telentang, kadang dia tengkurap, tergantung enaknya mana. Tinggal si ‘Melati’ si pohon nyinyir yang merana harus menghirup CO2 dari minyak si nyongyong dengan essence keringat jagung di ketek Tigor.

“Daripada gue kagak berfotosintesis, kasian kan penduduk bumi.”, begitu kata si ‘Melati’ si pohon nyinyir.

“PLAKKK…!!!”, kali ini tepokan mendarat lebih keras di paha mulus milik Tigor. Buyarlah sudah lamunan itu.

“Tigorrrr!!! Kau pikir apa aku ini? Kau senyum-senyum aja dari tadi? Ada kau bantu aku Tigor? Kalau makan nomor satu kau Tigor!”, rentetan peluru AK47 berseliweran di relung-relung hati dan otak Tigor. Beruntung hati dan otak Tigor bolong di sana-sini jadi sebagian besar peluru lolos begitu saja tanpa meninggalkan bekas.

“Aduh Mak! KDRT ini Mak! KOMNAS HAM, tolong…! KOMNAS Perlindungan Anak dan Perempuan, tolong…! KDRT tingkat tinggi! Mayday-mayday, houston we are in danger!”, Tigor berteriak seperti kesurupan.

“Planggg…!”, kali ini bunyi yang beda. Bukan bunyi sendok goreng bertubrukan dengan daging berlemak, tapi kali ini bunyi besi dengan tulang.

“Addduuuuuhhhh mati aku!”, Tigor menjerit bukan kepalang memegangi benjolan merah di jidatnya.

“Rasakan kau! Biar kau pake otak kau itu Tigor! Tapi kau gak punya otak pula. Mengkhayal aja kau kutengok, Bapakmu capek kerja, aku capek masak untuk kau, dan kau enak-enakan mengkhayal!”, perempuan paruh baya itu berkacak pinggang. Tigor memalingkan wajah eneg demi melihat keteknya yang terpampang di bawah lengan dasternya.

“Hueekkk”, kata Tigor.

“Kepana pula kau mau muntah?” si Mamak pun makin sewot.

“Udah geger otak aku ini Mak”, jawab Tigor mendadak menemukan sebuah ide.

“Bah, anakku, anak kesayanganku! Yang betul kau Tigor? Bah, bah, bah, udah berapa kali aku bilang bah Tigor?” tanya si Mamak untuk mengetes kesadaran Tigor.

“Sepuluh kali Mak”, kata Tigor, entah berbohong entah memang gak bisa berhitung. Si Tigor mah emang kebiasaan.

“Bah mati pula aku ini, udah geger otak anakku. Padahal selama ini, gak punya otak kau Tigor. UN-pun yang untung lulusnya kau! Kok bisa pula kau geger otak?”, si Mamak pucat pasi. Namun demikian, sedikit kecurigaan muncul di alam bawah sadarnya. Biasa, naluri seorang Ibu, kalau bukan dia siapa lagi.

“Anakku tampan, kumbang desa, perjaka tingting, mau kumasakkan apa kau anakku? Supaya sembuh geger otakmu itu?”, tanya si Mamak dengan cemas setengah bersyukur ternyata Tigor masih punya otak walaupun volumenya belum bisa ditentukan.

“Aduh Mak, udah gak selera aku makan. Paling yang masih bisa kumakan, Mamak bikinlah dulu nasi goreng buntut kesukaanku itu. Siapa tahu bisa sehat lagi anak Mamak ini”, Tigor makin memelas terlihat tak berdaya.

“Oh iyalah anakku, iyalah anakku sayang. Jangan kau laporkan pula Mamak ke KOMNAS HAM yah anakku! Apa itu kata orang? KD… KD… KD… ah entah apalah itu, yang udah cerai sama si Anang itu.”, kata si Mamak sambil bergegas memasak nasi goreng buntut kesukaan Tigor.

“Oh…, KD ulang tahun Mak”, kata Tigor asal, menyembunyikan senyum.

“Dasar si Mamak, KDRT aja gak tau!”, lanjut Tigor dengan senyum makin lebar.

“Huuuhhh Tigor si anak durhaka! Kualat lu! Kite sumpehin kagak dapet jodoh lu!”, serempak ‘Melati’ si pohon nyinyir dan si Kurik menyumpahi si Tigor.

***

Beberapa hari kemudian, di tengah malam bergerimis yang syahdu, di tengah kerlip bintang dan bulan yang tersenyum malu, lewatlah si Melati, perempuan bahenol itu, kembang desa, dengan dua jerawat batu di mukanya, dari depan rumah Tigor.

“Aduh, rambutnya yang panjang terurai bak mayang, bokongnya yang mengembang seperti durian montong berkeping dua, aih jerawat batunya yang seperti bisul menggoda setiap jari untuk memencet, giginya yang tajam dan runcing… Hiiiiii… aduh, ini Melati apa setan nih?”, mendadak bulu kuduk Tigor berdiri dibuatnya.

Tidak hanya itu, jantung Tigor juga dibuatnya berderap dengan irama 4/4 memainkan tempo Allegro.

“Mari kita nyanyikan bersama”, kata Tigor sambil mengangkat tangan siap memimpin si Kurik dan si ‘Melati’ si pohon nyinyir bernyanyi bersama.

“Ih bego”, kata si ‘Melati’ si pohon nyinyir, “beneran geger otak kali tuh orang. Jadinya gila!”.

Dengan muka melongo, mata sayu, dan mulut ternganga, Tigor memindahkan tangannya, yang tadi terangkat hendak memimpin lagu, ke rambutnya. Dia puntir dan angkat jambul itu lebih tinggi lagi.

“Lumayan, penambahan dua centimeter terhadap total seluruh tinggi badan”, bisik Tigor bagai seorang ahli yang sedang merekam laporan hasil penelitiannya.

“Tegur, tidak, tegur, tidak, tegur, tidak”, si Tigor mulai menghitung kancing bajunya.

“Aduh, kenapa malah ‘tidak’ yah”, kata si Tigor.

“Coba kalau itung dari bawah,” Tigor mulai menghitung lagi.

“Tegur, tidak, tegur, tidak, tegur, tidak! Aduh, masih ‘tidak’ juga”, si Tigor mulai lemas.

Dia hitung sekali lagi dari atas ,”Tegur, tidak, tegur, tidak, te…! Eh, kutu tungau! Ini udel kok malah ikutan keitung?!?”, mendadak wajah Tigor cerah, secarah ketika dulu memenangkan togel pertamanya. Ternyata dari tadi udelnya ikut keitung.

“Dasar udel, kau kira bisa membodohi aku? Tigor, si ganteng malam?”, kata Tigor mencolok udelnya masuk kedalam.

“Rasain kau, pake nongol2 pula kau!”, kata Tigor tak berperasaan. Dasar pria kejam tak berhati nurani, aset sendiri masih dihina.

Segera dia hitung lagi kancing bajunya, kali ini dia hitung dari atas,”Tegur, tidak, tegur, tidak, tegur! Yeaaa…!”. Tak lupa, sambil menghitung tadi jari jemarinya yang lentik melepas dua kancing paling atas.

“Sakhruk Khan juga buka dua kancing baju kalau mau rayu cewek”, katanya.

“Tigor, Tigor. Eling Tigor, sadar, ngaca! Shakrukh Khan itu dadanya bidang dan berisi, berbulu lebat pula! Lah elu ini apa? Dada kerempeng, putih mulus, tak berbulu? Sekali hantam sama si Poltak, bisa remuk redam hati kau dalam arti harfiah Tigor!”, Si Kurik cemas melihat tuannya mulai hilang akal dan kendali diri.

Dia ingat petuah seorang ‘Aa’, yang paling penting adalah pengendalian diri. Dan sekarang, Tigor sudah kehilangan itu pula, satu-satunya yang dia miliki. Ih, si Kurik sok rohani ih.

“Hai, Melati Suci Putih Harum Mewangi Sepanjang Hari Tak Henti-Henti Menggetarkan Hati Sanubari Setiap Laki-Laki yang Memandangi Khususnya Pribadi yang Bertemu Malam Ini!”, Tigor mulai melancarakan rayuannya.

“Huuuu, tidak orisinil!”, kata si ‘Melati’ si pohon nyinyir.

“Itu kan hak ciptanya si Mbak itu tuh, artis idolaku! Awas loh, dibawa ke jalur hukum, lagi nge-trend kale! Hak Cipta dan Kekayaan Intelektual dilindungi oleh Undang-Undang!”, tumben amat si ‘Melati’ si pohon nyinyir ada isinya.

“Jiah, cerdas amat si ‘Melati’. Tau dari mane lo?”, kata si Kurik mencibir si ‘Melati’ si pohon nyinyir.

“Hi Bang Tigor, apa kabar Bang di malam yang indah cerah namun bergerimis dan syahdu ini? Kata orang gerimis malam mengundang loh Bang”, si Melati, yang asli, membalas sapaan Tigor dengan bibir dimonyong-monyongkan. Sejam sudah si Melati di depan cermin untuk mendapatkan monyongan terbaik malam ini.

Maklum, di desa ini setiap kembang desa berkiblat ke Hollywood. Kali ini yang sedang ‘in’ adalah bibir monyong ala Angelina Jolie. Itu tuh, Mpo Enji, bininya Bang Brettt. Masak gak kenal sih? Keterlaluan deh, gue aja kenal.

Limbung rasanya tubuh Tigor saat itu, vertigo pun mendadak kambuh, darah memompa deras ke segala penjuru. Dalam hal ini sungguh-sungguh ke segala penjuru, setiap sel di tubuhnya dibanjiri oleh pompaan darah dengan deras. Tau donk maksudnya.

“Apakah itu sebuah isyarat?”, kata Tigor yang mulai meremas-meremas dadanya. Berani taruhan, pengennya sih dada yang sono.

“Serangan jantung? Biasa aja kale?”, si ‘Melati’ si pohon nyinyir mulai dah.

“Melati, bolehkah Abang mendekatimu?”, tanya Tigor sambil melangkah mendekat.

“Boleh Bang Tigor. Sedekat hatiku yang bersih dari jantungku yang berdetak, juga boleh Bang! Hatiku bersih karena belum diisi oleh siapapun, jantungku berdetak oleh si dia yang berdiri di seberang sana!”, jiah basi dah si Melati. Melet-melet si Melati meremas-remas tangan sambil meliuk-liukkan tubuhnya seperti pohon layu ditiup angin.

“Emang gatal loh, Melati!”, lagi-lagi si ‘Melati’ si pohon nyinyir berkomentar.

“Adikku, Melati, kau tengoklah bulan itu! Bulan itu bulat, tapi tidak sebulat wajahmu Melati!”, Tigor mulai merayu.

“Plak! Sialan, kau kira pula mukaku ini bulat? Mukaku ini lonjong, lonjong seperti telur ayam kampung yang masih hangat keluar dari…”, Melati terdiam dan tidak meneruskan kata-katanya.

Malam itu, Melati berlari ke rumah, aliran air hangat di pipinya semakin deras. Untunglah masih tersamarkan oleh tetesan gerimis tipis yang menyentuh wajahnya.

“Lumayan, untung gerimis, kalau gak ketahuan nih ingus gue meler. Flu nih udah dua minggu kagak sembuh-sembuh!”, kata Melati dalam hati.

Sampai di rumah cepat-cepat dia ambil penggaris, dia ukur panjang dan lebar wajahnya. Diapun tersenyum puas.

“Jika salah satu sisi lebih panjang dari sisi satunya, itu namanya jajaran genjang!”, kata Melati dengan yakin.

“Dasar Tigor bego! Gak heran kan kalau gue lulus UN, gue tau persis ilmu trigonometri, bangun datar, bangun miring, bangun tidur. Gue ahlinya! Contoh, wajahku ini. Satu sisi lebih panjang dari sisi lainnya, itu namanya JAJARAN GENJANG! Hmmm, jajaran genjang apa belah ketupat yah? Gak mungkin, pasti JAJARAN GENJANG!”, senyum Melati semakin mengembang.

Dengan percaya diri dia tidur dan pulas dalam kebahagiaan.

Sementara itu, Tigor merenung di dalam kamar.

“Apa salahku dan apa dosaku? Ibu, mengapa engkau melahirkan aku? Bukan salah Ibu mengandung tapi salah Bapak yang mencetak! Hussshhh…!”, Tigor menghapus airmatanya.

***

Perlahan, Tigor melupakan sakit hatinya. Tapi sakit di pipinya belum sembuh, dia kompres setiap malam dengan ramuan ketimun putih setengah layu, bengkuang kecokelatan setengah busuk, dan petai hijau setengah dimakan ulat. Semakin hari pipinya bukan semakin membaik, tapi semakin memerah. Tidak heran, pipi Tigor infeksi dikasih ramuan beracun seperti itu.

“Oh pipiku, pipi indahku, kau tidak tembem dan tidak tirus. Kau seperti ukiran di dinding batu pualam kuil para dewa di Athena. Siapakah wanita beruntung itu yang akan mendaratkan ciuman untuk pertama kalinya di permukaan landasanmu yang indah?”, Tigor mulai berdeklamasi di depan cermin.

“Athena? Macam mana pula itu Athena? Aku belum pernah pula ke sana? Jangan-jangan sudah tompel pula kuil Athena itu. Ah, aku batalkan sajalah itu.”, kata Tigor sambil menghempaskan tubuh. Niatnya ke tempat tidur dengan dramatis seperti di sinetron-sinetron. Apa hendak dikata, Tigor terhempas di lantai ubin.

“Bruuugggg!! Huaaahhh!!!”, sebuah jeritan di tengah malam.

Keeseokan harinya, Tigor berangkat ke dokter ahli kecantikan di desa itu. Dahsyat bener, di desa begini ada dokter ahli kecantikan pula.

“Menerima perawatan kecantikan. Kami ahlinya, dokter ahli kecantikan berizasah SMA”, begitu bunyi iklan di depan gubuk itu.

“Dokter berizasah SMA?”, Tigor berkernyit, sepertinya ada yang salah.

“Ah, biarlah. Yang penting pipi kebanggaanku ini bisa sembuh dan pulih sedia kala. Siapa tau pula ada cewek kenalan, malu kalilah aku kayak gini.”, dengan tekad bulat, Tigor masuk ke dalam gubuk itu.

“Wuuuzzzz…”, angin lembut bertiup dengan wewangian berpendar di sekelilingnya ketika dewi itu melangkah keluar dari balik tirai menyambut Tigor.

“Aduh mak oi, apa pula ini? Malaikat mungkin ini?”, kata Tigor sambil mengucek-ucek matanya.
Rambutnya yang berkibar diterpa kipas angin, baju kaosnya yang kekecilan mungkin punya adiknya, rok mininya yang hanya sejengkal dari pinggang, alas kakinya yang seperti bakiak. Taruhan, anjing manapun bakal mati dilempar sama tuh sepatu atau sandal yah? Apapunlah.

“Sempurna”, bisik Tigor tanpa sadar.

“Apa yang sempurna Aa Tigor?”, perempuan itu menyadarkan Tigor.

“Ah, Adek Neng ini bisa-bisa aja. Kura-kura di dalam perahu, pura-pura tidak tahu”, kata Tigor berperibahasa. Dia merasa senang dengan kecerdasannya. Apalagi di depan dewi ini, oh memanglah Tigor seorang dewa dari Athena.

Neng Risma Liasari, itu namanya. Perempuan cantik, kembang desa terbaru, asli impor dari negeri seberang. Seorang dokter ahli kecantikan berizasah SMA. Benar-benar sempurna.

Hampir satu jam sudah, Tigor menjalani terapi penyembuhan itu. Oh rasanya dia benar-benar sembuh, pipinya diusap, dielus, dibasahi, dikeringkan. “Huffff… panas-panas”, kata Tigor dalam hati.

“Oh, Adek Neng, kau membuat aku seperti raja rasanya”, kata Tigor begitu selesai.

“Aa Tigor, bisa saja”, kata Neng Risma Liasari sambil melet-melet setengah kebelet.

“Ah, jangan pulalah kau panggil aku ini Aa, kayak orang gagu kau kudengar A… A… A… Aabang…! Hahaha…”, Tigor tertawa diiringi siraman hujan lokal membanjiri si Neng.

“Ah, bukan atuh Aa, dah Aa mah panggilan sayang si Neng sama Abang Tigor”, si Neng makin melet, kali ini sepertinya sudah tidak tahan. Kedua betisnya dirapatkan.

Dikasih umpan, Tigor langsung teringat sebuah tulisan kata-kata bijak dari Albert Einstein dan satu-satunya yang dia hafal bener ,”Selagi ada cinta tidak perlu ada lagi pertanyaan”.

Tanpa membuang waktu, dengan gagah berani, dia smash-lah si Neng ,”Abang cinta sama Adek, ada pertanyaan?”.

Diam sejenak, kemudian “Cuuupppp, ahhh”, sebuah suara mencurigakan terdengar.

Kali ini bukan karena momentum yang terbentuk dari tumbukan sebuah benda keras dengan benda keras lain. Kali ini seperti bunyi udara yang tertahan karena dua buah benda setengah keras bertemu.

“Neng ke belakang dulu ya Aa, kebelet, mau pipis”, bisik Neng di telinga Tigor.

Tinggallah Tigor yang gelagapan, tidak bisa bernafas.

“Bruuukkk!”, Tigor ambruk ke lantai tak sadarkan diri.

Kali ini tumbukan antara dua benda, dimana sebuah benda yang terdiri dari 90% air dengan massa lebih-kurang 65kg membentur bidang datar keras terbuat dari ubin bernama lantai.

“Ooooh Tigor, akhirnya dapet jodoh juga lo!”, kata si ‘Melati’ si pohon nyinyir dan si Kurik si ayam jantan bulukan serempak dalam nada minor dengan pecah suara Soprano dan Tenor.

And they live happily ever after.

The End.


Selasa, 18 Juni 2013

Seorang Anak ‘Haram’ Dengan Ibunya [Part 2: Ibu]

ANAKKU, KAU BUKAN ANAK HARAM!

*** Seolah engkau adalah buah dari kenistaan, sejatinya engkau adalah pewaris kehidupan! ***

Anakku, masih nyata dalam benak, ketika tangismu memecah malam. Kala burung dan serangga malam tersentak diam, seksama mendengarkan. Semilir anginpun tidak berani lancang. Semua diam!

Tangismu anakku, bukan tangis biasa! Langit menangis menyampaikan kisahmu kepada bumi. Kisah tentang sebuah kenistaan. Sungguh malam itu, dia tidak rela menaruhkan roh kemurnianmu ke dalam tubuh kefanaanmu. Tidak ke dalam kelaliman sang bumi! Dia tahu anakku, di tahu bahwa tubuh fanamu seolah buah dari sebuah kenistaan.

Malam itu, aku juga menangis untukmu anakku, menangis untuk keberadaanmu, menangis untuk masa depanmu, menangis untuk doa dan harapan bodohku bahwa kau tidak akan pernah menjejak bumi. Ketika isakku berpadu dalam tangis kecilmu, ketika redup mataku memandang binar matamu, ketika tangan kasarku membelai halus kulitmu. Jiwaku meledak dalam haru! Kau, darah dan dagingku! Aku bermohon pada Sang Langit, tidak akan kubiarkan sehelaipun kelaliman bumi ini menyanyat dan merobek jiwamu anakku, sampai dia rampas nyawa ini dari raga.

***

Sembilan bulan anakku, sembilan bulan aku membawamu. Buah kenistaan dalam rahimku. Setiap sentuhan kecil dari tangan dan kakimu mengguncang air ketubanku dan mendesak dinding rahimku. Ingin kuremukkan setiap tulang di tubuhmu, ingin kulumat serpih demi serpih daging di tubuhmu, ingin kucacah dirimu dengan belati kemarahanku sampai hancur luluh ragamu. Dengan demikian anakku terhapuslah sudah aibku.

Setiap hari, aku merutuk mengutukimu! Aku benci kau dengan segenap jiwa dan ragaku! Aku lakukan apapun untuk memusnahkanmu dari hidupku! Kau jahanam kecil dalam diriku. Beraninya kau merampas semua kebahagiaan masa remajaku! Beraninya kau menghancurkan semua harapan dan cita-cita beliaku. Aku kutuki kau! Dengan demikian anakku terbebaslah sudah pasung jiwaku.

Kerlip matamu anakku, mengingatkanku akan bintang-bintang malam ketika dia menjamahku. Pengecut itu menjanjikanku surga, tapi neraka yang kujemput. Ingin kubutakan matamu, kurampas kerlip itu, dan kubuang ke dasar lembah kehancuran. Dengan demikian anakku telepaslah dendam kesumatku.

Tapi anakku, aku tak berdaya. Sang Langit begitu mengasihimu. Selama sembilan bulan aku memusuhi sang langit. Betapa jahat dan tidak berhati nurani dia. Aku tidak menginginkanmu! Itu bukan salahku! Pergi kau, buah kenistaan! Pergi kau jauh dari hidupku! Dengan demikian anakku sudah teringkarilah keberadaanku.

Aku terhilang bersama malam dan lenyap bersama pagi.

***

Malam ini anakku, ketika isakku berpadu dalam tangis kecilmu, ketika redup mataku memandang binar matamu, ketika tangan kasarku membelai halus kulitmu. Jiwaku meledak dalam haru! Kau, darah dan dagingku!

Kubasuh tubuh ringkihmu! Dengan demikian anakku, teragungkanlah sudah aibku dalam kesucianmu.
Kutarik semua kutukku! Dengan demikian anakku, terpasunglah sudah jiwaku dalam pengabdian padamu.
Kucium kerlip matamu! Dengan demikian anakku, terikatlah sudah dendamku dalam pengampunanmu.
Kusujud pada langit! Dengan demikian anakku, nyatalah sudah keberadaanku dalam dirimu.

***

Anakku, engkau bukan anak haram!
Anakku, ibumu bukan pelacur perempuan!
Katakan itu pada mereka! Tidak dengan kata-kata anakku! Tidak dengan kata-kata.
Katakan dengan hidupmu anakku! Katakan dengan hidupmu!
Kau bukanlah buah kenistaan!

Anakku, laki-laki kecilku.
Permata hatiku, bunga matahariku.
Ketika waktumu tiba, aku rindu kau menjadi seorang pria.
Pikullah kuk dalam hidupmu.
Karena, kau adalah pewaris kehidupan!

Aku! Aku akan membentang bersama malam dan berderap bersama pagi. Mendampingimu seumur hidupku.

Dari aku, ibumu, perempuan laknat yang terampunkan.


*** http://www.facebook.com/kayukompas ***

Jumat, 14 Juni 2013

Seorang Anak ‘Haram’ Dengan Ibunya [Part 1: Anak 'Haram']

IBU, BENARKAH AKU ANAK HARAM?

*** Sebuah dukungan untuk anak-anak ‘haram’ yang sama sekali tidak haram. You were born just pure and precious! ***

Ibu, tadi siang aku bermain dengan teman-teman. Kami tertawa bersama, berlarian ke sana-kemari, jatuh dan terduduk, dan kami terus saja tertawa. Kami berjalan menyusuri jalan kecil itu Bu. Jalan yang sering kita lalui kalau Ibu mengajakku menemani Ibu mencuci pakaian di sungai. Tapi aku tidak sampai ke sungai, karena aku ingat pesan Ibu. Ibu bilang, aku tidak boleh bermain sendiri ke sungai. Jadi, aku menunggu teman-temanku di tepi jalan itu ketika mereka bermain ke sungai.

Sambil menunggu, aku memetik banyak sekali bunga-bunga yang indah. Aku mengumpulkannya untuk Ibu. Aku tahu Ibu suka sekali yang berwarna merah muda bukan? Tapi, Ibu juga suka yang berwarna kuning, yang ungu, putih, dan biru muda. Jadi aku petik saja semuanya sekalian. Dengan demikian aku bisa membawa semua warna kesukaan Ibu. Kalau Ibu kembali ke rumah nanti, aku akan berikan untuk Ibu. Pasti Ibu senang sekali.

Aku senang ketika Ibu tersenyum. Senyum Ibu manis sekali. Gigi Ibu putih, besar-besar, dan rapih. Tidak seperti gigiku, kecil-kecil dan mulai keropos. Aku ingin nanti gigiku putih, besar, dan rapih seperti Ibu. Aku ingat cerita Ibu tentang seorang malaikat penjagaku. Kata Ibu, malaikat itu begitu cantik dan indah. Dia selalu tersenyum menjagaku kemanapun aku melangkah. Tapi Bu, aku tidak pernah melihat malaikat itu. Aku ingin tahu, apakah senyumnya seindah senyum Ibu. Aku juga ingin tahu apakah dia secantik Ibu. Dan, aku lebih ingin tahu lagi apakah dia menyanyangi aku sama seperti Ibu.

Ibu, aku ingin Ibu cepat pulang. Aku rindu Ibu. Aku ingin dipeluk oleh Ibu. Aku ingin Ibu mendengarkan ceritaku seperti biasa ketika Ibu menidurkanku. Aku bangga punya Ibu yang kuat. Walaupun ibu sudah bekerja seharian, tapi Ibu tidak pernah lelah untuk mendengarkan ceritaku. Ibu tidak lelahkan Bu? Kata temanku, Ibunya tidak kuat seperti Ibu. Ibunya selalu marah-marah setiap kali temanku ingin bercerita. Kata dia Ibunya selalu mengeluh capek. Kasihan temanku, coba dia menjadi anak Ibu pasti dia akan senang sekali seperti aku.

Oh iya Bu, aku ingin bercerita tentang hari ini. Hari ini hatiku sedih. Tadi siang, sepulang bermain, salah seorang temanku dimarahi oleh Ibunya. Kata Ibunya, temanku itu tidak boleh bermain lagi denganku. Kasihan temanku Bu, padahal dia anak yang baik. Aku suka bermain dengannya. Aku tidak mengerti, kata Ibunya aku anak haram!

Apa arti anak haram Bu? Aku tahu arti anak manis, anak baik, dan anak kesayangan. Tapi, aku tidak tahu arti anak haram. Kenapa Ibu itu menyebut aku anak haram? Kalu Ibu tahu arti anak haram, Ibu boleh beritahu aku. Jadi aku tidak perlu bertanya-tanya lagi. Tapi kalau Ibu tidak tahu, tidak mengapa.
Ibu, benarkah aku anak haram? Kata Ibu aku adalah anak manis, anak baik, dan anak kesayangan. Tidak pernah sekalipun Ibu menyebutku anak haram. Tapi mereka, para Ibu itu, sering mengatai aku anak haram. Bukan sekali ini saja Bu, tapi berulangkali.

Setiap kali mereka mengatai aku anak haram, mereka memandangku dengan jijik. Ibu ingat ketika kita menemukan bangkai tikus di dapur rumah kita? Waktu itu aku begitu khawatir dan takut melihat wajah Ibu. Tidak pernah Ibu seperti itu sebelumnya. Kata Ibu, saat itu Ibu jijik sekali. Mereka memandangku seperti itu.

Tapi kenapa mereka memandangku seperti itu Bu? Apakah mereka jijik melihat aku? Apakah aku sama seperti bangkai tikus? Padahal aku tidak busuk dan tidak berbau kan Bu? Ibu selalu memandikan aku dengan sabun mandi kita yang harum. Aku menjadi harum semerbak seperti bunga bermekaran. Itu kata Ibu. Aku tersenyum setiap kali Ibu mengendus tubuhku dan menghirup wangiku dalam-dalam. Kata Ibu, dengan begitu Ibu bisa meresapi diriku sepenuhnya.

Tapi sudahlah Bu, aku tidak peduli kata mereka. Selama kata Ibu aku ini adalah anak manis, anak baik, dan anak kesayangan. Bagiku itu sudah cukup.

Satu lagi Bu, bagaimana dengan pelacur? Aku juga tidak mengerti arti pelacur. Kata mereka Ibu juga sama seperti pelacur. Kata mereka lagi, seorang pelacur dan anak haram tidak pantas untuk dijadikan teman. Aneh sekali Bu, akhir-akhir ini banyak kata-kata yang aku tidak mengerti dan tidak pernah aku dengar dari mulut Ibu.

Apakah pelacur itu seperti Ibu? Seorang perempuan yang begitu mencintai aku. Seorang perempuan yang rela mengorbankan hidupnya untuk aku? Kalau benar pelacur itu seperti Ibu, aku suka dengan pelacur. Semoga semua Ibu di dunia ini menjadi pelacur seperti Ibu. Kasihan teman-temanku yang Ibunya bukan pelacur.

Ibu, aku juga rindu Ayah. Kata Ibu, aku tidak boleh rindu kepada Ayah. Kenapa Bu? Aku belum pernah bertemu Ayah. Aku belum pernah memanggil Ayah seumur hidupku. Aku ingin seperti teman-temanku yang bisa berlarian menghambur ke pelukan Ayah mereka setiap kali Ayah mereka tiba di rumah. Ibu, apakah pelukan seorang Ayah nyaman seperti pelukan Ibu? Apakah Ayah juga suka mengendus dan menghirup wangi tubuhku? Kemana Ayah Bu?

Ini juga membuatku bingung Bu. Setiap kali aku berbicara tentang Ayah, Ibu selalu menangis. Kenapa Bu? Aku menyanyangi Ibu, aku tidak ingin Ibu menangis. Maafkan aku Bu. Aku berjanji, mulai hari ini aku tidak akan pernah bertanya tentang Ayah lagi. Biarlah aku merindukan Ayah di dalam hatiku yah Bu. Siapa tahu, Ayah mendengarkan rinduku di dalam hatinya dan dia datang menemuiku. Aku akan berlari menghambur ke pelukannya. Tapi Ibu jangan cemburu, aku tetap akan menyanyangi Ibu. Aku hanya rindu Ayah kok Bu. Besok aku akan peluk Ibu lagi. Mungkin Ayah dan Ibu bisa memelukku berdua?

Ibu, aku mulai mengantuk. Ibu belum datang juga. Aku menunggu Ibu. Bunga-bunga yang tadi kupetik sudah mulai layu. Tapi pasti Ibu masih suka sekali seperti biasa. Mungkin, malam ini aku hanya akan memberikan bunga itu untuk Ibu. Tidak perlu berbicara tentang anak haram, pelacur, dan Ayah. Mungkin Ibu sudah sedang tidak ingin aku ganggu. Lebih baik nanti kita berpelukan saja yah Bu. Ibu dan aku, berdua di dalam rumah kita. Itu sudah cukup.

Dari aku, anakmu: anak manis, anak baik, dan anak kesayangan!.

[TO BE CONTINUED TO PART 2: IBU]

*** http://www.facebook.com/kayukompas ***

Sabtu, 08 Juni 2013

MAMISOKA: Malu Miskin Sok Kaya

"Mala Mamisoka!", teriakan itu terdengar berulang-ulang. Dalam hitungan detik, seorang anak perempuan menangis sesenggukan sambil menutup wajah dengan kedua tangannya berlari masuk ke dalam kelas.

Beberapa hari kemudian, aku melihat tulisan dengan kata-kata yang persis sama di dinding belakang tembok sekolah, "Mala Mamisoka".

Cukup lama aku penasaran apa arti 'mamisoka', seumur-umur belum pernah aku mendengar kata itu. Khawatir itu hanya istilah jorok yang baru beredar disekolah, aku diam saja dan tidak berusaha mencari tahu.

Sampai suatu hari, seorang anak laki-laki berteriak begitu keras ketika kami pulang sekolah ,"Mala mamisoka, malu miskin sok kaya". Terbongkarlah sudah misteri itu.

***

Cerita itu hanya sedikit cuplikan kenakalan anak-anak ketika masa SMP dulu di kota kelahiranku. Mungkin bukan istilah yang umum di kota lain, tapi dulu sempat begitu populer di kalangan kami.

Memang 'mamisoka' bukanlah istilah yang masih 'in' saat ini, bahkan di kota kelahiranku. Sekarang sudah tergantikan oleh banyak istilah baru yang lebih yahud, sebut saja 'unyu', 'miapah', dan banyak istilah lain yang kadang membikin dahi berkernyit kebingungan.

Namun demikian, bukankah maknanya masih sangat relefan hingga saat ini? Begitu relefan sehingga beberapa waktu lalu muncul istilah baru yang tidak kalah menggelitik 'semua harga naik kecuali harga diri'.

Benar! Seberapa sering kita mendengar atau membaca kisah remaja puteri menjual keperawanannya (bukan kesucian, karena kesucian tidak bisa dijual dan tidak ada yang mau membeli kesucian!). Kadang dengan harga 'discount' dan bukan hanya 'midnight sale' seperti yang awam kita temui di pusat-pusat perbelanjaan, tetapi juga 'midday sale'. Hanya untuk sekedar membeli telepon genggam pintar, mereka rela ditindih beberapa menit oleh seorang pria tak dikenal yang haus akan petualangan. Juga remaja putera yang tidak mau kalah, merelakan diri dan tenaga mereka hanya untuk memberi kegirangan bagi si tante penikmat otot-otot belia mereka.

Benarkah hanya anak-anak remaja? Sepertinya tidak.

Ada berapa banyak orang memperhambakan diri kepada kartu kredit? Demi barang-barang mewah bermerek, demi tampil necis dan parlente, demi 'gadget' termutakhir. Seperti melayang rasanya ketika melangkahkan kaki di pusat perbelanjaan ternama sambil menenteng tas belanja berkelas di tangan? Laki-laki dan perempuan, sama saja!

Kenikmatan sesaat itu begitu melambungkan sehingga terkadang membuat orang lupa daratan sampai tiba saatnya harus membayar semua kenikmatan itu. Tidak heran profesi 'debt collector' begitu populer belakangan ini.

Bagi mereka yang lebih tahu diri, barang 'KW' menjadi alternatif pilihan, biar murah asal 'bermerek'. Tidak perduli hasil karya intelektual orang lain, bajak saja! Ada 'demand', ada 'supply'. Akankah lebih masuk akal untuk menghukum pembeli dan pemakai daripada pembajak?

Bukankah korupsi juga sama? Ketika orang merasa malu dengan pencapaiannya yang wajar? Malu dengan apa yang memang seharusnya menjadi bagiannya. Lahirlah, keinginan untuk terlihat lebih, menikmati lebih, dan mendapatkan lebih. Lebih kaya, lebih keren, dan semua lebih lainnya. Melebihi rejeki yang sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.

Di hati yang ingin lebih itulah, 'bapa segala pendusta' dengan mesra membisikkan kata-kata mutiaranya ,"engkau dapat memiliki seluruh isi dunia, jika engkau tunduk kepadaku dan melakukannya dengan caraku". Bisikan yang kemudian melahirkan pelacur-pelacur cilik, pembajak dan pembeli bajakan, koruptor, dan bahkan seluruh kejahatan lain di muka bumi ini.

Memang benar, kata-kata hikmat yang berkata ,"Akar dari segala kejahatan adalah 'cinta' akan uang".

Oleh karena itu, mari kita belajar bersyukur dengan apa yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Mencukupkan diri dan berbagi. Terlebih berbahagia memberi daripada menerima. Memberi mengajar kita merasa cukup dan bahkan berkelimpahan. Tidak perlu menginginkan yang lebih dengan menghalalkan segala cara!

Ucapkan selamat tinggal pada 'mamisoka' dan hapus dari kamus hidup kita. Karena tidak ada manusia yang kaya, hanya Sang Pencipta empunya semesta. Hanya di dalam Dia, kita dijadikan kaya dengan cara yang unik. Uang dengan segala kesenangan yang bisa didapatkannya tidak menjadikan kaya.

*** http://www.facebook.com/kayukompas ***

Kamis, 06 Juni 2013

Malam Ketika Bulan Penuh

Aku matikan mesin mobi, membuka pintu, dan melangkah keluar. Sambil meregangkan tubuh, aku menarik nafas dalam dan menikmati aroma alam pegunungan yang terbentang luas. Segala kepenatan dan kelelahan dalam diriku tergantikan oleh indahnya suasana pagi. Bergegas, aku membuka bagasi mobil dan mengeluarkan koper berisi perlengkapan menginap selama di villa ini.

Aku menutup bagasi dan menekan tombol remote untuk mengunci mobil sembari melangkah masuk ke dalam villa. Sejenak langkahku terhenti saat kakiku hendak menapaki anak tangga menuju teras villa. Teras villa ini dibuat sengaja agak tinggi di atas tanah untuk menghindari hewan-hewan melata masuk ke dalam. Mataku menyapu sekeliling, mencoba mencari-cari sesuatu yang baru.

Villa ini masih persis sama seperti dulu, villa kayu yang dibuat begitu apik dan indah. Dinding dari kayu-kayu bulat yang kecil dan kuat, hanya dipoles dengan furnish sehingga memancarkan nuansa alam yang kental. Lantai dari bilah-bilah kayu yang dihaluskan dan dilicinkan sehingga serat kayu tidak mungkin melukai kaki telanjang yang melangkah di atasnya. Teras kayu yang luas dengan banyak bunga-bunga bergantungan di sudut-sudutnya. Taman yang asri dengan rumpun bunga mawar dan anyelir yang sedang berbunga. “Semuanya masih sama”, aku bergumam pelan sambil tersenyum kecut.

Perlahan kisah itu kembali melintas di benakku, seperti putaran film pendek yang terputus-putus. Akal sehatku ingin sekali membuang jauh-jauh cerita kosong tersebut dari fikiranku, "Omong kosong tidak berguna, begitu kuucapkan pada diriku sendiri setiap kali aku mengingatnya. Tapi hatiku sepertinya tidak rela dan selalu siap bertarung melawan akal sehatku kapan saja, untuk mempertahankan dan menyimpannya. Karena aku lelah harus memilih antara akal sehat atau hati nuraniku, akhirnya aku membiarkannya jadi kenangan sebagaimana harusnya. "Tidak adanya gunanya membenci jalan hidup", itu yang kutekankan pada diriku, "biarkan mengalir, nanti juga akan berlalu".

Tapi pagi ini, demi melihat villa ini, demi menghirup harum pohon pinus yang begitu aku sukai, demi melihat warna-warni bunga yang bergelantungan di teras ini, cerita dalam bentuk film pendek yang terputus-putus itu kembali lagi. Semakin aku berusaha menjernihkan fikiranku, semakin jelas rangkaian cerita itu berputar di kepalaku. Cerita itu hanya cerita roman picisan anak muda. Cerita ketika aku masih lugu dan bodoh. Sebegitu lugu dan bodohnya, sampai aku percaya akan adanya janji sehidup-semati. Cerita ketika aku masih berharap untuk melangkah menuju altar pernikahan di Gereja. Cerita yang sekarang terasa begitu jauh berada di negeri dongeng.

Waktu itu hampir sama seperti hari ini, dimulai di suatu pagi yang cerah di awal bulan Desember. Aku begitu bersemangat sesampainya di villa ini. Bagaimana tidak, dia, perempuan itu, menganggukkan kepalanya ketika aku sambil setengah bercanda mengajaknya untuk menikah setelah kami lulus kuliah nanti. "Setahun lagi, begitu kita sudah bekerja, langsung menikah saja", kataku waktu itu. Dia diam saja, tapi matanya berbinar menunjukkan dia senang. "Kalau toh kita sudah bisa menghasilkan uang gak apa-apa toh? Apa yang mau ditunggu lagi, yang penting kita saling mencintai!", aku tersenyum meyakinkan dia sembari menggenggam tangannya serta menaruhnya di dadaku, "Bagaimana?", aku bertanya dengan harap-harap cemas. Dia mengangguk, dan itu sudah cukup bagiku, "Yes!".

Saat itu, aku merasa aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia. Malu-malu, aku membayangkan diriku menikah, menjadi seorang Suami, kemudian menjadi seorang Bapak, mungkin seorang Kakek nantinya. "Husshhh, bulan madu saja belum. Oh iya, wuih, bagaimana yah rasanya nanti bulan maduku?", tanyaku dalam hati. Sekelebat fikiran nakal tentang bulan madu membuatku sedikit gerah dan berkeringat. Aku matikan AC mobil, membuka jendela kaca, dan menikmati udara sejuk pegunungan sambil senyum-senyum sendiri.

Aku masih ingat, pagi itu, beberapa butiran air hangat merebak di sudut-sudut matanya dan mungkin juga mataku, tapi aku tidak akan mengakuinya. Ada rasa bahagia yang begitu meluap-luap tak mampu kutahan, sekaligus perasaan haru yang dalam ketika aku membayangkan diriku melangkah di depan altar, menggandeng tangannya dengan bangga, dan berjalan di hadapan tamu-tamu yang menghadiri pemberkatan pernikahanku di Gereja.

“Eh, ada tamu rupanya”, suara seorang perempuan paruh baya yang tergopoh-gopoh keluar dari dalam villa membuyarkan lamunanku.

Perempuan paruh baya itu melanjutkan,"Aduh, pagi-pagi kok sudah senyum-senyum sendiri? Ayo masuk, di luar mataharinya terik loh. Ayo kamarnya sudah Mbok siapkan”. Aku jadi malu menyadari sudah berapa lama aku berdiri bengong seperti orang kehilangan akal.

“Bahkan Mbok Minah masih di tempat ini”, kataku dalam hati, “tidak ada yang berubah, villa ini, bunga-bunga gantung, rumpun mawar, anyelir, lembah di selatan sana. Hanya aku yang berubah, semakin dewasa dan tidak seceria dulu lagi. Mungkin aku semakin serius menghadapi hidup, usia juga berambah, jadi wajarlah. Dan, mungkin dia juga berubah?”.

“Ayo toh, kok malah melamun lagi?”, Mbok Minah sudah tidak sabaran dan menyambar koper dari tanganku sambil melangkah masuk ke dalam mendahuluiku.

“Sebentar Mbok, saya mau lihat-lihat sebentar”, aku menjawab sekenanya.

“Ya sudah, tapi jangan lama-lama. Nanti kulitnya gosong kayak Mbah Tarkam tuh. Udah kulitnya keriput, gosong, genit lagi, hihihihi”, Mbok Minah mengomentari suami semata wayangnya yang katanya sudah menikahinya lebih dari 40 tahun dan sampai saat ini masih mesra seperti pengantin baru.

“Iya, iya Mbok”, aku berlalu dan melangkah ke arah lembah. Aku mendekapkan tangan ke dada, menahan tiupan angin yang dingin dari arah lembah. Di bulan Desember seperti ini, angin bertiup cukup kencang dan sejuk bahkan meskipun matahari bersinar terik.

Menikah selama 40 tahun, bagaimana rasanya? Bagaimana bisa, sepasang manusia seperti Mbok Minah dan Mbah Tarkam sudah menikah selama 40 tahun lamanya dan mereka masih terlihat bahagia? Dulu, seringkali aku dan dia memergoki adegan mesra pasangan itu, ketika mereka saling bercanda. Mbah Tarkam memang laki-laki genit, dia suka menggelitiki pinggang isterinya sambil tertawa-tawa kecil. Tentu saja Mbok Minah akan membalasnya dengan sebuah tepisan sambil berpura-pura marah, tapi semua orang juga tahu sinar di wajahnya tidak menyiratkan amarah. Meskipun keindahan raganya hampir sirna, dia sangat tahu kilatan di mata Mbah Tarkam ketika menggodanya adalah kilatan yang sama sejak berpuluh-puluh tahun lalu.

Saat itu, aku dan dia berkhayal bahwa kami akan sama seperti itu sampai tua. Dengan wajah keriput dan tubuh yang sudah tidak berbentuk lagi, kami akan duduk berdua, berpelukan sampai berjam-jam lamanya, di tepi lembah ini. Bercerita tentang cinta yang tidak akan pernah usai.

“Duarrrr!”, tubuhku tersentak kaget ketika bunyi petir menggelegar menyusul kilatan cahaya yang menyambar ke bumi. Sepertinya cukup lama aku berdiam diri memandangi tepian lembah. Awan putih keperakan yang tadinya masih tipis berserak, kini terlihat menghitam dan bergumpal. Sepertinya awan kumulonimbus, artinya sebentar lagi akan turun hujan deras disertai tiupan angin kencang. Dengan berlari-lari kecil aku bergerak cepat kembali ke teras ketika rintik-rintik hujan mulai berjatuhan. Kaos oblong putih yang melekat di tubuhku mulai dipenuhi noda-noda air hujan dan menempel di kulit.

Aku menyeka wajah dan duduk di kursi kayu di sudut teras, aman dan terlindung dari cipratan air hujan. Air hujan yang tertumpah begitu deras dari langit, membawa nuansa yang begitu indah dan menghanyutkan. Dulu, teras kayu ini adalah tempat favorit kami setiap kali hujan datang. Entah bagaimana, aku dan dia sangat menyukai hujan. "Romantis", dia berbisik ke telingaku. Dan aku selalu mengiyakan, "Iya, benar. Romantis!". Kemudian, cepat-cepat aku menambahkan dalam hati, "Kesempatan emas untuk duduk berhimpitan sambil merangkulkan lengan di pundaknya. Udara dingin begini, siapa yang tidak suka dipeluk?". Biasanya dia akan protes melihat senyum lebar di wajahku, dan dengan acuh akan kujawab sekenanya,"Rahasia laki-laki".

Hujan deras seperti ini yang sering kali menghentikan petualangan kecil kami di kaki bukit di antara pohon pinus yang tumbuh menjulang tinggi. Sejak pertama kali kami bertemu, berkenalan, dan saling jatuh cinta di tempat ini, sesi berburu buah pinus menjadi kegiatan yang begitu menyenangkan untuk dilakukan. Aku selalu berhasil mengumpulkan lebih banyak buah pinus, besar, dan bagus bentuknya. Sementara buah pinus miliknya selalu lebih sedikit, kecil, dan kurang bagus. Hal itu menjadi pemicu pertengkaran kecil di antara kami, mulai dari masalah kecurangan sampai ke masalah gender. Katanya aku curang. Karena aku laki-laki, aku lebih punya kesempatan untuk mendapatkan yang lebih baik. Katanya lagi, aku berani menjejakkan kaki ke dalam rumpun perdu yang mungkin ada ularnya hanya karena aku laki-laki. Aku selalu tertawa mendengar argumentasinya yang tidak masuk akal, bagiku kalah ya kalah, tidak usah cari alasan.

Memang benar, buah pinus yang besar biasanya akan menggelinding jauh karena lebih berat dan tertahan di dalam rumpun perdu. Sementara yang kecil tidak akan menggelinding dan dengan mudah bisa didapatkan.

Dengan tidak sabaran, karena khawatir atau mungkin karena iri, dia akan berteriak-teriak memanggilku atau lebih tepatnya dengan sengaja menakut-nakutiku setiap kali aku meraba-raba ke dalam rumpun perdu. “Awas, hati-hati! Mungkin ada ular di situ! Aduh, kenapa sih penting banget?”, begitu komentarnya. Kadang memang sepertinya dia benar khawatir, tapi dengan cepat kekhawatiran itu berganti menjadi kekesalan begitu melihat tanganku menggengam sebutir buah pinus yang besar dan bagus. Dengan sikap yang sengaja dibuat gagah dan sedikit pongah, aku memasukkan temuan 'berharga' itu ke dalam tas kecil di pinggangku. Sebuah senyum kemenangan mengembang di bibirku.

Kalau sedang tidak tega, biasanya aku akan berlari cepat mendahuluinya sambil berpura-pura tertarik akan sesuatu. Pada saat dia tidak memperhatikan, aku mengambil beberapa butir buah pinus yang paling bagus dari dalam tas kecilku dan menaruhnya di tempat yang pasti dengan mudah akan dia temukan. “Dapat! Aku dapat! Aku bilang juga apa? Nggak perlu masuk ke dalam semak, apalagi kalau ada ularnya, hiii...! Nih buktinya, orang sabar dan rendah hati banyak rejeki”, dengan tidak kalah pongah, dia akan pamer di depanku sambil memasukkan buah pinus yang adalah buah pinusku ke dalam tas kecilnya. Aku hanya tersenyum geli bercampur senang dan bahagia. Geli karena dia tidak tahu kalau akulah dewa penolongnya, senang karena dia senang, dan bahagia karena dia bahagia. “Iya, kamu benar”, kataku sambil memeluk pundaknya merapatkannya ke dadaku sambil bersykur ,“Ya Tuhan, aku begitu mencintai perempuan ini”, aku bersyukur dalam hati.

“Kreeeokkk”, bunyi pintu kayu yang dibuka dari dalam membuatku tersadar. Kulihat Mbah Tarkam datang membawa dua cangkir teh hangat dan sepiring singkong goreng. Orang tua ini masih ingat persis kegemaranku dan perempuan itu. Dua cangkir teh hangat dan sepiring singkong goreng di tengah hujan lebat yang dingin selalu membangkitkan rasa lapar kami, bahkan sekalipun perut masih menggendut akibat makan berlebihan. Mbok Minah memang pintar sekali memasak, dalam hal itu kami berdua sepakat.

Lamunanku melayang kembali ke masa lalu ketika hari juga hujan seperti hari ini. “Mbok Minah pinter masak yah”, kataku sore itu sembari menyeruput teh hangat yang masih mengepul. Dia mengangguk, “Iya, nanti kalau kamu sudah menikah bajak aja Mbok Minah dan taruh di rumah jadi kamu bisa gemukan dikit”, dia menyindir tubuhku yang memang sedikit langsing. “Gak mau, aku maunya ada yang masakin tapi bukan Mbok Minah”, aku tersenyum nakal sambil mengedipkan sebelah mata ke arahnya untuk menggoda. Cepat-cepat dia berpaling ke arah lain sambil berpura-pura tidak mendengar ocehanku.

“Dari tadi kok melamun terus tooohhh? Orang muda ndak boleh melamun, apalagi di tempat sepi begini, pamali kata orang”, Mbah Tarkam memutus lamunanku lagi.

“Iya nih Mbah, kalau di kantor saya gak bisa melamun banyak-banyak, kebetulan ini sedang libur, saya main ke sini yah dipuas-puasin deh ngelamunnya”, aku bergeser sedikit mempersilahkan Mbah Tarkam duduk.

“Sudah lama yah baru ke sini lagi?”, Mbah Tarkam tersenyum menawarkan secangkir teh hangat ke arahku yang segera aku sambut dan teguk karena memang dingin sekali di luar sini.

“Iya Mbah, mungkin sudah lima tahun ya Mbah. Saya senang bisa ke sini lagi”, jawabku sambil tersenyum. Orang tua ini ramah sekali, tidak berpendidikan tapi dia laki-laki yang baik dan sangat menyenangkan.

“Senang, tapi kok melamun terus? Wajahnya juga kelihatan murung, sampai-sampai Mbok Minah gak enak hati mau negur. Jadi minta saya yang nganterin teh dan singkong ini”, Mbah Tarkam balas tersenyum, tapi kali ini ditambah dengan sedikit tatapan menyelidik.

Aku menatap balik wajah tua Mbah Tarkam, yang tampak bijaksana di usianya yang sepuh, dan rasanya ingin sekali mencurahkan beban yang sudah kubawa selama bertahun-tahun. Ingin sekali rasanya menceritakan bagaimana sebelumnya aku begitu bahagia, ketika waktu itu, perempuan itu menganggukkan kepalanya yang cantik sebagai jawaban atas keinginanku untuk menikah dengannya setelah kami lulus kuliah. Betapa besarnya harapanku akan indahnya hidup bersama yang penuh dengan bunga-bunga bermekaran di sana-sini. Bagaimana kemudian mimpi itu menguap hilang sama seperti embun yang menguap dari pucuk pohon-pohon pinus di lembah sana ketika matahari dengan garang melontarkan cahayanya.

Tapi Mbah Tarkam mungkin tidak akan pernah mengerti, dia tidak akan pernah tahu rasanya ketika aku membeli sepasang cincin pertunangan dengan berlian kecil di atasnya. Dengan susah payah, aku mengumpulkan sedikit uang yang kumiliki sebagai karyawan baru, dari bulan ke bulan hanya untuk bisa memberikan kejutan kecil untuknya. Dengan muka sumringah namun sedikit malu-malu aku memberanikan diri membeli cincin-cincin itu sendirian. Sesuatu yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Raut kebingungan terpancar di wajahku ketika bahkan untuk sepasang cincin dengan berlian kecil yang paling sederhana sekalipun, uangku belum cukup. Entah karena kasihan melihat kebingunganku atau karena memang harga penawarannya yang terlalu tinggi, si Om penjaga toko akhirnya menanyakan jumlah uang yang aku miliki. Setelah beberapa diskusi singkat, akhirnya sepasang cincin mungil dan indah berpindah ke dalam tanganku. "Terimakasih Om, terimakasih!", ucapku berkali-kali dengan rasa senang bukan kepalang. Berhasil!

Malam ketika bulan penuh, ketika angin semilir berhembus sejuk, di tepi lembah berbalut hutan pinus, di bawah tebaran beribu bintang, di sini di villa kayu inilah aku akan memberikan kejutan kecil untuknya. Hati-hati kutaruh kotak kecil itu di dalam kantung jaket, kugenggam erat sekedar memastikan dia akan aman di sana sampai tiba waktunya. Tapi ternyata, kotak kecil itu tidak pernah keluar dari saku jaketku bahkan sampai fajar menyingsing ketika pagi tiba. Dia, perempuan itu, memalingkan wajahnya dariku, menyembunyikan wajahnya, pada malam ketika bulan bersinar penuh. Malam ketika dia, sambil terisak, telah menghancurkan mimpi-mimpiku.

"Untuk apa dia menangis? Harusnya aku yang menangis! Aku yang ditinggalkan!," aku mengumpat dalam hati. Tapi, aku tidak menangis, aku tidak akan menagis. Tidak akan! Dia tidak perlu melihat rasa sakitku, dadaku cukup luas untuk menampung semua rasa sakit ini. Bagaimana mungkin, dia lebih memilih untuk memperoleh magister degree dan mungkin doctoral degree daripada kami dan mimpi-mimpi kami? Dia lebih memilih pergi ke sebuah negeri nun jauh di benua seberang sana, negeri mimpi, di mana cita-cita mengalahkan janji dan kenangan di villa ini.

Aku masih memandangi sepasang cincin itu ketika fajar menyingsing dan pagi tiba. Entah berapa lama sudah aku menekurinya, terbayang semua jerih lelahku, terbayang semua penghematan yang harus aku lakukan, terbayang rasa senang dan bangga ketika aku berhasil membelinya, kemudian tiba-tiba semuanya hancur malam ini. Begitu terus berulang-ulang, berputar-putar, kenangan itu melintas di kepalaku. Perlahan, dengan rasa malu dan tertolak, aku menyembunyikan kotak kecil itu di dasar paling bawah koperku. Tidak boleh ada seorangpun yang tahu, betapa bodohnya aku dengan semua harapan dan cita-citaku.

Sejak malam itu, malam ketika bulan bersinar penuh, aku sudah tidak percaya lagi akan dunia yang bahagia, tidak percaya lagi akan janji sehidup-semati, tidak berharap lagi untuk melangkah menuju altar pernikahan di Gereja. Karena semua itu hanya ada di negeri dongeng, negeri dimana para dewa dan dewi hidup bahagia, negeri di mana para peri terbang kian-kemari mengepakkan sayapnya dalam nyanyian cinta.

Aku menyeruput kembali tehku yang sudah mulai dingin sambil memandangi punggung Mbah Tarkam yang berjalan masuk meninggalkanku. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah dipenuhi oleh rambut putih, dia mengingatkanku untuk mandi dan makan malam. “Mbah Tarkam dan Mbok Minah sepertinya pasangan yang bahagia. Tapi mereka bukan dewa dan dewi di negeri dongeng, mereka hanya manusia biasa, hanya penjaga villa, mungkinkah di dunia yang tidak bahagia ini…?”, aku merenung dalam hati dan tidak menemukan jawaban apapun.

Hujan lebat yang tadi tumpah dari langit sudah lama berhenti berganti dengan gerimis tipis yang menyentuh lembut dedaunan yang asyik bergoyang mengikuti irama tiupan angin. "Syukurlah malam ini dingin sekali", kataku dalam hati sambil meyakinkan diri sendiri bahwa itu jadi alasan yang tepat untuk tidak perlu mandi. Akhirnya, gerimis pun berhenti, dan langit menjadi cerah. Suasana malam begitu indah, aku melangkahkan kaki ke halaman villa dan berkeliling sambil melenturkan otot-otot tubuh. Udara malam di pegunungan selalu menyenangkan, bersih, dan tenang. Bintang-bintang mulai bermunculan satu per satu dan sang dewi malam juga sudah tidak malu-malu menampilkan kecantikannya. Tepat seperti dugaanku, malam ini bulan purnama.

Kedamaian malam seakan mengangkat resah hati seharian penuh. Dari berbagai sudut, nyanyian burung malam saling bersahutan ditingkahi bunyi serangga malam melantunkan rayuan cinta guna menarik hati sang pujaan. Hanyut dalam ketenangan malam membuatku tersentak oleh deruman mesin mobil dan bunyi klakson yang ditekan berulang-ulang. Seketika halaman villa yang tadinya remang, mendadak terang benderang oleh sepasang lampu sorot mobil yang menyilaukan. "Siapa yah malam-malam begini datang ke villa? Kasian benar orang ini, pasti dia kesusahan harus menyetir di dalam hujan deras dan kabut tadi sore", aku berbicara sendiri dan berjalan mendekati mobil tersebut. Mungkin aku bisa membantu jika diperlukan atau sekedar menyapa karena kelihatannya dia hanya seorang diri.

Seorang wanita! Seorang diri menyetir di tengah hujan deras dan baru tiba setelah malam hari di villa ini, kasihan sekali. Aku berlari kecil ke arahnya untuk membantu membawakan tasnya dan tiba-tiba langkahku terhenti, seluruh bumi dan segala isinya mendadak diam, yang ada hanya bunyi degup jantungku yang bergemuruh. Sinar temaram dari lampu taman menyinari wajahnya yang tadi tersembunyi di balik rambut panjangnya yang tergerai ketika dia menunduk keluar dari dalam mobil.

"Fe...?", hanya itu yang bisa kuucapkan karena aku terlalu takut untuk berharap. Mungkin aku sudah gila, khayalanku sudah berubah menjadi halusinasi sekarang. Aku berbalik, namun sebelum aku sempat beranjak suara itu memanggil namaku dengan lembut, sama seperti dulu ,"Ron, ini aku...". Cukup sudah, memang aku sudah gila! Benar kata Mbah Tarkam, tidak baik kebanyakan melamun di tempat sepi seperti ini. Setan apa yang tiba-tiba menjelma di depanku, besok pagi-pagi benar aku harus ke Rumah Sakit Jiwa.

"Ron, ini aku...", suara itu lagi.

"Cukup!", teriakku ,"Cukup! Aku mau pergi, aku tidak mau melihatmu dan tidak akan mau melihat siapapun orang lain yang akan datang menyusulmu ke tempat ini! Aku mau berkemas dan pergi sekarang!", aku marah sekali, ingin sekali rasanya aku meninju seseorang saat ini, kuhentakkan keras-keras kaki ke tanah melampiaskan rasa marah.

"Ron..., tapi aku sendiri. Tidak akan ada yang menyusulku ke sini. Berbaliklah, lihat aku!", seketika aku berhenti dan menunggu.

"Ron, aku datang ke sini untuk menemui kamu. Tadi aku singgah ke rumahmu, Ibumu bilang kamu pergi ke villa. Aku buru-buru semampuku, berkemas sebisaku, dan menyusulmu ke sini.", suaranya bergetar.

Dulu, itu artinya aku harus memeluknya dan memberikan ketenangan di sela-sela tangisnya kalau dia sedang sedih,  kecewa, kesal, atau marah akan sesuatu. Sekarang, aku tidak tahu itu artinya apa. Aku bukan siapa-siapa, aku hanya orang bodoh yang pernah tertolak dan mempermalukan diriku sendiri.

"Untuk apa?", aku berbalik. Setelah lima tahun penantian yang panjang, hanya itu yang terpikir dan bisa kuucapkan. Memang benar, betapa bodohnya aku, baru kusadari.

Dia hanya menangis, terisak-isak, dan seperti biasa pundaknya akan terguncang-guncang mengikuti irama tangisnya. Refleks dan tanpa fikir panjang aku berlari memeluknya, airmatanya tumpah membasahi pundakku.

Setelah tangisnya mulai reda, dengan terbata-bata, dia berbisik di telingaku ,"Ron, ma'afkan aku. Waktu itu aku masih sangat muda, terlalu takut kalau tidak akan pernah melihat dunia luar. Kalau aku harus menikah denganmu, kemudian punya anak, dan harus tinggal di rumah untuk selamanya. Aku takut."

Sambil melepaskan diri dari dalam pelukanku dia melanjutkan kata-katanya ,"Aku ingin melihat dunia luas sebelum mengabdikan hidup untukmu dan anak-anak kita. Lebih baik aku meninggalkanmu saat itu daripada aku meninggalkanmu kelak hanya karena aku terlalu mencintaimu saat itu dan terburu-buru menikah denganmu".

"Setiap hari selama lima tahun, aku merindukanmu dan mencintaimu. Dan yang paling menyedihkan dari semua itu, aku tidak punya sesuatupun untuk dibenci dalam dirimu, untuk bisa dijadikan alasan agar tidak merindukanmu. Setiap hari selama lima tahun aku berdoa, jika memang kau adalah bagianku dan aku adalah bagianmu, aku berdoa supaya hari ini tiba Ron", dia menghapus airmatanya dan memandangku dengan matanya yang sembab.

Aku tidak tahan lagi, hatiku luluh melihat dia, perempuan itu, perempuan yang begitu aku cintai berdiri di hadapanku. "Aku menunggumu, setiap hari selama lima tahun, aku menunggumu. Malam ini genap lima tahun sejak kamu pergi dan aku di sini, hanya untuk menunggumu", kataku.

"Sama sepertimu, aku juga tidak memiliki sesuatupun untuk dijadikan alasan agar tidak merindukanmu. Tapi tidak seperti kamu, aku tidak berani berdoa untuk hari ini, karena aku takut hari ini tidak akan pernah tiba atau hari ini akan tiba tapi dengan cara yang tidak akan sanggup aku hadapi", aku menggemgam tangannya dan membimbingnya berjalan ke teras villa.

Sama seperti bertahun-tahun lalu, kami duduk di tangga kayu teras villa ini. Kali ini dalam diam, membiarkan hati saling bicara. Ketika kata-kata yang keluar dari mulut dan bibir tidak cukup berarti untuk diucapkan, biarlah hati yang berbicara. Kata orang, itulah cinta, ketika sepasang manusia berbicara dengan hati dan saling memahami. Bahasa manusia akan lenyap tapi cinta tidak akan pernah akan berkesudahan.

Aku bergumam perlahan ,“ Malam ini bulan penuh".

Dia menengadah dan mengangguk ,“Iya, malam ini bulan penuh".

Aku merengkuhnya ke dalam pelukanku, mencium lembut keningnya, dan menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam memenuhi seluruh rongga dadaku membuang kerinduan yang selama ini menumpuk dan berkarat di dalamnya.

Sejenak aku berdoa di dalam hati ,“Tuhan, ini hanya antara Engkau dan aku, dia tidak boleh tahu. Ini kali kedua, di tempat ini, sudut-sudut mataku basah oleh rasa bahagia, tapi aku tidak menangis. Kalau Engkau berkenan, aku mau merasakannya untuk kali yang ketiga dan itu harus di depan altarmu. Amin”.

Sebersit senyum terlintas di bibirku, teringat kotak kecil berisi sepasang cincin dengan berlian mungil di atasnya. Sengaja kubawa hari ini ,"Siapa tahu!", fikirku ketika berkemas-kemas dari rumah. Akhirnya, di sini, di tempat di mana cinta ada, di tempat di mana dewa dan dewi hidup bahagia dalam wujud manusia, di tempat di mana bunga-bunga bermekaran, di tempat di mana aku kembali percaya ada bahagia yang abadi, di tempat ini, di sebuah villa kayu di atas bukit hijau, pada malam ketika bulan penuh, aku kembali menemukan dia yang diambil dari tulang rusukku.

*** http://www.facebook.com/kayukompas ***