Kamis, 06 Juni 2013

Malam Ketika Bulan Penuh

Aku matikan mesin mobi, membuka pintu, dan melangkah keluar. Sambil meregangkan tubuh, aku menarik nafas dalam dan menikmati aroma alam pegunungan yang terbentang luas. Segala kepenatan dan kelelahan dalam diriku tergantikan oleh indahnya suasana pagi. Bergegas, aku membuka bagasi mobil dan mengeluarkan koper berisi perlengkapan menginap selama di villa ini.

Aku menutup bagasi dan menekan tombol remote untuk mengunci mobil sembari melangkah masuk ke dalam villa. Sejenak langkahku terhenti saat kakiku hendak menapaki anak tangga menuju teras villa. Teras villa ini dibuat sengaja agak tinggi di atas tanah untuk menghindari hewan-hewan melata masuk ke dalam. Mataku menyapu sekeliling, mencoba mencari-cari sesuatu yang baru.

Villa ini masih persis sama seperti dulu, villa kayu yang dibuat begitu apik dan indah. Dinding dari kayu-kayu bulat yang kecil dan kuat, hanya dipoles dengan furnish sehingga memancarkan nuansa alam yang kental. Lantai dari bilah-bilah kayu yang dihaluskan dan dilicinkan sehingga serat kayu tidak mungkin melukai kaki telanjang yang melangkah di atasnya. Teras kayu yang luas dengan banyak bunga-bunga bergantungan di sudut-sudutnya. Taman yang asri dengan rumpun bunga mawar dan anyelir yang sedang berbunga. “Semuanya masih sama”, aku bergumam pelan sambil tersenyum kecut.

Perlahan kisah itu kembali melintas di benakku, seperti putaran film pendek yang terputus-putus. Akal sehatku ingin sekali membuang jauh-jauh cerita kosong tersebut dari fikiranku, "Omong kosong tidak berguna, begitu kuucapkan pada diriku sendiri setiap kali aku mengingatnya. Tapi hatiku sepertinya tidak rela dan selalu siap bertarung melawan akal sehatku kapan saja, untuk mempertahankan dan menyimpannya. Karena aku lelah harus memilih antara akal sehat atau hati nuraniku, akhirnya aku membiarkannya jadi kenangan sebagaimana harusnya. "Tidak adanya gunanya membenci jalan hidup", itu yang kutekankan pada diriku, "biarkan mengalir, nanti juga akan berlalu".

Tapi pagi ini, demi melihat villa ini, demi menghirup harum pohon pinus yang begitu aku sukai, demi melihat warna-warni bunga yang bergelantungan di teras ini, cerita dalam bentuk film pendek yang terputus-putus itu kembali lagi. Semakin aku berusaha menjernihkan fikiranku, semakin jelas rangkaian cerita itu berputar di kepalaku. Cerita itu hanya cerita roman picisan anak muda. Cerita ketika aku masih lugu dan bodoh. Sebegitu lugu dan bodohnya, sampai aku percaya akan adanya janji sehidup-semati. Cerita ketika aku masih berharap untuk melangkah menuju altar pernikahan di Gereja. Cerita yang sekarang terasa begitu jauh berada di negeri dongeng.

Waktu itu hampir sama seperti hari ini, dimulai di suatu pagi yang cerah di awal bulan Desember. Aku begitu bersemangat sesampainya di villa ini. Bagaimana tidak, dia, perempuan itu, menganggukkan kepalanya ketika aku sambil setengah bercanda mengajaknya untuk menikah setelah kami lulus kuliah nanti. "Setahun lagi, begitu kita sudah bekerja, langsung menikah saja", kataku waktu itu. Dia diam saja, tapi matanya berbinar menunjukkan dia senang. "Kalau toh kita sudah bisa menghasilkan uang gak apa-apa toh? Apa yang mau ditunggu lagi, yang penting kita saling mencintai!", aku tersenyum meyakinkan dia sembari menggenggam tangannya serta menaruhnya di dadaku, "Bagaimana?", aku bertanya dengan harap-harap cemas. Dia mengangguk, dan itu sudah cukup bagiku, "Yes!".

Saat itu, aku merasa aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia. Malu-malu, aku membayangkan diriku menikah, menjadi seorang Suami, kemudian menjadi seorang Bapak, mungkin seorang Kakek nantinya. "Husshhh, bulan madu saja belum. Oh iya, wuih, bagaimana yah rasanya nanti bulan maduku?", tanyaku dalam hati. Sekelebat fikiran nakal tentang bulan madu membuatku sedikit gerah dan berkeringat. Aku matikan AC mobil, membuka jendela kaca, dan menikmati udara sejuk pegunungan sambil senyum-senyum sendiri.

Aku masih ingat, pagi itu, beberapa butiran air hangat merebak di sudut-sudut matanya dan mungkin juga mataku, tapi aku tidak akan mengakuinya. Ada rasa bahagia yang begitu meluap-luap tak mampu kutahan, sekaligus perasaan haru yang dalam ketika aku membayangkan diriku melangkah di depan altar, menggandeng tangannya dengan bangga, dan berjalan di hadapan tamu-tamu yang menghadiri pemberkatan pernikahanku di Gereja.

“Eh, ada tamu rupanya”, suara seorang perempuan paruh baya yang tergopoh-gopoh keluar dari dalam villa membuyarkan lamunanku.

Perempuan paruh baya itu melanjutkan,"Aduh, pagi-pagi kok sudah senyum-senyum sendiri? Ayo masuk, di luar mataharinya terik loh. Ayo kamarnya sudah Mbok siapkan”. Aku jadi malu menyadari sudah berapa lama aku berdiri bengong seperti orang kehilangan akal.

“Bahkan Mbok Minah masih di tempat ini”, kataku dalam hati, “tidak ada yang berubah, villa ini, bunga-bunga gantung, rumpun mawar, anyelir, lembah di selatan sana. Hanya aku yang berubah, semakin dewasa dan tidak seceria dulu lagi. Mungkin aku semakin serius menghadapi hidup, usia juga berambah, jadi wajarlah. Dan, mungkin dia juga berubah?”.

“Ayo toh, kok malah melamun lagi?”, Mbok Minah sudah tidak sabaran dan menyambar koper dari tanganku sambil melangkah masuk ke dalam mendahuluiku.

“Sebentar Mbok, saya mau lihat-lihat sebentar”, aku menjawab sekenanya.

“Ya sudah, tapi jangan lama-lama. Nanti kulitnya gosong kayak Mbah Tarkam tuh. Udah kulitnya keriput, gosong, genit lagi, hihihihi”, Mbok Minah mengomentari suami semata wayangnya yang katanya sudah menikahinya lebih dari 40 tahun dan sampai saat ini masih mesra seperti pengantin baru.

“Iya, iya Mbok”, aku berlalu dan melangkah ke arah lembah. Aku mendekapkan tangan ke dada, menahan tiupan angin yang dingin dari arah lembah. Di bulan Desember seperti ini, angin bertiup cukup kencang dan sejuk bahkan meskipun matahari bersinar terik.

Menikah selama 40 tahun, bagaimana rasanya? Bagaimana bisa, sepasang manusia seperti Mbok Minah dan Mbah Tarkam sudah menikah selama 40 tahun lamanya dan mereka masih terlihat bahagia? Dulu, seringkali aku dan dia memergoki adegan mesra pasangan itu, ketika mereka saling bercanda. Mbah Tarkam memang laki-laki genit, dia suka menggelitiki pinggang isterinya sambil tertawa-tawa kecil. Tentu saja Mbok Minah akan membalasnya dengan sebuah tepisan sambil berpura-pura marah, tapi semua orang juga tahu sinar di wajahnya tidak menyiratkan amarah. Meskipun keindahan raganya hampir sirna, dia sangat tahu kilatan di mata Mbah Tarkam ketika menggodanya adalah kilatan yang sama sejak berpuluh-puluh tahun lalu.

Saat itu, aku dan dia berkhayal bahwa kami akan sama seperti itu sampai tua. Dengan wajah keriput dan tubuh yang sudah tidak berbentuk lagi, kami akan duduk berdua, berpelukan sampai berjam-jam lamanya, di tepi lembah ini. Bercerita tentang cinta yang tidak akan pernah usai.

“Duarrrr!”, tubuhku tersentak kaget ketika bunyi petir menggelegar menyusul kilatan cahaya yang menyambar ke bumi. Sepertinya cukup lama aku berdiam diri memandangi tepian lembah. Awan putih keperakan yang tadinya masih tipis berserak, kini terlihat menghitam dan bergumpal. Sepertinya awan kumulonimbus, artinya sebentar lagi akan turun hujan deras disertai tiupan angin kencang. Dengan berlari-lari kecil aku bergerak cepat kembali ke teras ketika rintik-rintik hujan mulai berjatuhan. Kaos oblong putih yang melekat di tubuhku mulai dipenuhi noda-noda air hujan dan menempel di kulit.

Aku menyeka wajah dan duduk di kursi kayu di sudut teras, aman dan terlindung dari cipratan air hujan. Air hujan yang tertumpah begitu deras dari langit, membawa nuansa yang begitu indah dan menghanyutkan. Dulu, teras kayu ini adalah tempat favorit kami setiap kali hujan datang. Entah bagaimana, aku dan dia sangat menyukai hujan. "Romantis", dia berbisik ke telingaku. Dan aku selalu mengiyakan, "Iya, benar. Romantis!". Kemudian, cepat-cepat aku menambahkan dalam hati, "Kesempatan emas untuk duduk berhimpitan sambil merangkulkan lengan di pundaknya. Udara dingin begini, siapa yang tidak suka dipeluk?". Biasanya dia akan protes melihat senyum lebar di wajahku, dan dengan acuh akan kujawab sekenanya,"Rahasia laki-laki".

Hujan deras seperti ini yang sering kali menghentikan petualangan kecil kami di kaki bukit di antara pohon pinus yang tumbuh menjulang tinggi. Sejak pertama kali kami bertemu, berkenalan, dan saling jatuh cinta di tempat ini, sesi berburu buah pinus menjadi kegiatan yang begitu menyenangkan untuk dilakukan. Aku selalu berhasil mengumpulkan lebih banyak buah pinus, besar, dan bagus bentuknya. Sementara buah pinus miliknya selalu lebih sedikit, kecil, dan kurang bagus. Hal itu menjadi pemicu pertengkaran kecil di antara kami, mulai dari masalah kecurangan sampai ke masalah gender. Katanya aku curang. Karena aku laki-laki, aku lebih punya kesempatan untuk mendapatkan yang lebih baik. Katanya lagi, aku berani menjejakkan kaki ke dalam rumpun perdu yang mungkin ada ularnya hanya karena aku laki-laki. Aku selalu tertawa mendengar argumentasinya yang tidak masuk akal, bagiku kalah ya kalah, tidak usah cari alasan.

Memang benar, buah pinus yang besar biasanya akan menggelinding jauh karena lebih berat dan tertahan di dalam rumpun perdu. Sementara yang kecil tidak akan menggelinding dan dengan mudah bisa didapatkan.

Dengan tidak sabaran, karena khawatir atau mungkin karena iri, dia akan berteriak-teriak memanggilku atau lebih tepatnya dengan sengaja menakut-nakutiku setiap kali aku meraba-raba ke dalam rumpun perdu. “Awas, hati-hati! Mungkin ada ular di situ! Aduh, kenapa sih penting banget?”, begitu komentarnya. Kadang memang sepertinya dia benar khawatir, tapi dengan cepat kekhawatiran itu berganti menjadi kekesalan begitu melihat tanganku menggengam sebutir buah pinus yang besar dan bagus. Dengan sikap yang sengaja dibuat gagah dan sedikit pongah, aku memasukkan temuan 'berharga' itu ke dalam tas kecil di pinggangku. Sebuah senyum kemenangan mengembang di bibirku.

Kalau sedang tidak tega, biasanya aku akan berlari cepat mendahuluinya sambil berpura-pura tertarik akan sesuatu. Pada saat dia tidak memperhatikan, aku mengambil beberapa butir buah pinus yang paling bagus dari dalam tas kecilku dan menaruhnya di tempat yang pasti dengan mudah akan dia temukan. “Dapat! Aku dapat! Aku bilang juga apa? Nggak perlu masuk ke dalam semak, apalagi kalau ada ularnya, hiii...! Nih buktinya, orang sabar dan rendah hati banyak rejeki”, dengan tidak kalah pongah, dia akan pamer di depanku sambil memasukkan buah pinus yang adalah buah pinusku ke dalam tas kecilnya. Aku hanya tersenyum geli bercampur senang dan bahagia. Geli karena dia tidak tahu kalau akulah dewa penolongnya, senang karena dia senang, dan bahagia karena dia bahagia. “Iya, kamu benar”, kataku sambil memeluk pundaknya merapatkannya ke dadaku sambil bersykur ,“Ya Tuhan, aku begitu mencintai perempuan ini”, aku bersyukur dalam hati.

“Kreeeokkk”, bunyi pintu kayu yang dibuka dari dalam membuatku tersadar. Kulihat Mbah Tarkam datang membawa dua cangkir teh hangat dan sepiring singkong goreng. Orang tua ini masih ingat persis kegemaranku dan perempuan itu. Dua cangkir teh hangat dan sepiring singkong goreng di tengah hujan lebat yang dingin selalu membangkitkan rasa lapar kami, bahkan sekalipun perut masih menggendut akibat makan berlebihan. Mbok Minah memang pintar sekali memasak, dalam hal itu kami berdua sepakat.

Lamunanku melayang kembali ke masa lalu ketika hari juga hujan seperti hari ini. “Mbok Minah pinter masak yah”, kataku sore itu sembari menyeruput teh hangat yang masih mengepul. Dia mengangguk, “Iya, nanti kalau kamu sudah menikah bajak aja Mbok Minah dan taruh di rumah jadi kamu bisa gemukan dikit”, dia menyindir tubuhku yang memang sedikit langsing. “Gak mau, aku maunya ada yang masakin tapi bukan Mbok Minah”, aku tersenyum nakal sambil mengedipkan sebelah mata ke arahnya untuk menggoda. Cepat-cepat dia berpaling ke arah lain sambil berpura-pura tidak mendengar ocehanku.

“Dari tadi kok melamun terus tooohhh? Orang muda ndak boleh melamun, apalagi di tempat sepi begini, pamali kata orang”, Mbah Tarkam memutus lamunanku lagi.

“Iya nih Mbah, kalau di kantor saya gak bisa melamun banyak-banyak, kebetulan ini sedang libur, saya main ke sini yah dipuas-puasin deh ngelamunnya”, aku bergeser sedikit mempersilahkan Mbah Tarkam duduk.

“Sudah lama yah baru ke sini lagi?”, Mbah Tarkam tersenyum menawarkan secangkir teh hangat ke arahku yang segera aku sambut dan teguk karena memang dingin sekali di luar sini.

“Iya Mbah, mungkin sudah lima tahun ya Mbah. Saya senang bisa ke sini lagi”, jawabku sambil tersenyum. Orang tua ini ramah sekali, tidak berpendidikan tapi dia laki-laki yang baik dan sangat menyenangkan.

“Senang, tapi kok melamun terus? Wajahnya juga kelihatan murung, sampai-sampai Mbok Minah gak enak hati mau negur. Jadi minta saya yang nganterin teh dan singkong ini”, Mbah Tarkam balas tersenyum, tapi kali ini ditambah dengan sedikit tatapan menyelidik.

Aku menatap balik wajah tua Mbah Tarkam, yang tampak bijaksana di usianya yang sepuh, dan rasanya ingin sekali mencurahkan beban yang sudah kubawa selama bertahun-tahun. Ingin sekali rasanya menceritakan bagaimana sebelumnya aku begitu bahagia, ketika waktu itu, perempuan itu menganggukkan kepalanya yang cantik sebagai jawaban atas keinginanku untuk menikah dengannya setelah kami lulus kuliah. Betapa besarnya harapanku akan indahnya hidup bersama yang penuh dengan bunga-bunga bermekaran di sana-sini. Bagaimana kemudian mimpi itu menguap hilang sama seperti embun yang menguap dari pucuk pohon-pohon pinus di lembah sana ketika matahari dengan garang melontarkan cahayanya.

Tapi Mbah Tarkam mungkin tidak akan pernah mengerti, dia tidak akan pernah tahu rasanya ketika aku membeli sepasang cincin pertunangan dengan berlian kecil di atasnya. Dengan susah payah, aku mengumpulkan sedikit uang yang kumiliki sebagai karyawan baru, dari bulan ke bulan hanya untuk bisa memberikan kejutan kecil untuknya. Dengan muka sumringah namun sedikit malu-malu aku memberanikan diri membeli cincin-cincin itu sendirian. Sesuatu yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Raut kebingungan terpancar di wajahku ketika bahkan untuk sepasang cincin dengan berlian kecil yang paling sederhana sekalipun, uangku belum cukup. Entah karena kasihan melihat kebingunganku atau karena memang harga penawarannya yang terlalu tinggi, si Om penjaga toko akhirnya menanyakan jumlah uang yang aku miliki. Setelah beberapa diskusi singkat, akhirnya sepasang cincin mungil dan indah berpindah ke dalam tanganku. "Terimakasih Om, terimakasih!", ucapku berkali-kali dengan rasa senang bukan kepalang. Berhasil!

Malam ketika bulan penuh, ketika angin semilir berhembus sejuk, di tepi lembah berbalut hutan pinus, di bawah tebaran beribu bintang, di sini di villa kayu inilah aku akan memberikan kejutan kecil untuknya. Hati-hati kutaruh kotak kecil itu di dalam kantung jaket, kugenggam erat sekedar memastikan dia akan aman di sana sampai tiba waktunya. Tapi ternyata, kotak kecil itu tidak pernah keluar dari saku jaketku bahkan sampai fajar menyingsing ketika pagi tiba. Dia, perempuan itu, memalingkan wajahnya dariku, menyembunyikan wajahnya, pada malam ketika bulan bersinar penuh. Malam ketika dia, sambil terisak, telah menghancurkan mimpi-mimpiku.

"Untuk apa dia menangis? Harusnya aku yang menangis! Aku yang ditinggalkan!," aku mengumpat dalam hati. Tapi, aku tidak menangis, aku tidak akan menagis. Tidak akan! Dia tidak perlu melihat rasa sakitku, dadaku cukup luas untuk menampung semua rasa sakit ini. Bagaimana mungkin, dia lebih memilih untuk memperoleh magister degree dan mungkin doctoral degree daripada kami dan mimpi-mimpi kami? Dia lebih memilih pergi ke sebuah negeri nun jauh di benua seberang sana, negeri mimpi, di mana cita-cita mengalahkan janji dan kenangan di villa ini.

Aku masih memandangi sepasang cincin itu ketika fajar menyingsing dan pagi tiba. Entah berapa lama sudah aku menekurinya, terbayang semua jerih lelahku, terbayang semua penghematan yang harus aku lakukan, terbayang rasa senang dan bangga ketika aku berhasil membelinya, kemudian tiba-tiba semuanya hancur malam ini. Begitu terus berulang-ulang, berputar-putar, kenangan itu melintas di kepalaku. Perlahan, dengan rasa malu dan tertolak, aku menyembunyikan kotak kecil itu di dasar paling bawah koperku. Tidak boleh ada seorangpun yang tahu, betapa bodohnya aku dengan semua harapan dan cita-citaku.

Sejak malam itu, malam ketika bulan bersinar penuh, aku sudah tidak percaya lagi akan dunia yang bahagia, tidak percaya lagi akan janji sehidup-semati, tidak berharap lagi untuk melangkah menuju altar pernikahan di Gereja. Karena semua itu hanya ada di negeri dongeng, negeri dimana para dewa dan dewi hidup bahagia, negeri di mana para peri terbang kian-kemari mengepakkan sayapnya dalam nyanyian cinta.

Aku menyeruput kembali tehku yang sudah mulai dingin sambil memandangi punggung Mbah Tarkam yang berjalan masuk meninggalkanku. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah dipenuhi oleh rambut putih, dia mengingatkanku untuk mandi dan makan malam. “Mbah Tarkam dan Mbok Minah sepertinya pasangan yang bahagia. Tapi mereka bukan dewa dan dewi di negeri dongeng, mereka hanya manusia biasa, hanya penjaga villa, mungkinkah di dunia yang tidak bahagia ini…?”, aku merenung dalam hati dan tidak menemukan jawaban apapun.

Hujan lebat yang tadi tumpah dari langit sudah lama berhenti berganti dengan gerimis tipis yang menyentuh lembut dedaunan yang asyik bergoyang mengikuti irama tiupan angin. "Syukurlah malam ini dingin sekali", kataku dalam hati sambil meyakinkan diri sendiri bahwa itu jadi alasan yang tepat untuk tidak perlu mandi. Akhirnya, gerimis pun berhenti, dan langit menjadi cerah. Suasana malam begitu indah, aku melangkahkan kaki ke halaman villa dan berkeliling sambil melenturkan otot-otot tubuh. Udara malam di pegunungan selalu menyenangkan, bersih, dan tenang. Bintang-bintang mulai bermunculan satu per satu dan sang dewi malam juga sudah tidak malu-malu menampilkan kecantikannya. Tepat seperti dugaanku, malam ini bulan purnama.

Kedamaian malam seakan mengangkat resah hati seharian penuh. Dari berbagai sudut, nyanyian burung malam saling bersahutan ditingkahi bunyi serangga malam melantunkan rayuan cinta guna menarik hati sang pujaan. Hanyut dalam ketenangan malam membuatku tersentak oleh deruman mesin mobil dan bunyi klakson yang ditekan berulang-ulang. Seketika halaman villa yang tadinya remang, mendadak terang benderang oleh sepasang lampu sorot mobil yang menyilaukan. "Siapa yah malam-malam begini datang ke villa? Kasian benar orang ini, pasti dia kesusahan harus menyetir di dalam hujan deras dan kabut tadi sore", aku berbicara sendiri dan berjalan mendekati mobil tersebut. Mungkin aku bisa membantu jika diperlukan atau sekedar menyapa karena kelihatannya dia hanya seorang diri.

Seorang wanita! Seorang diri menyetir di tengah hujan deras dan baru tiba setelah malam hari di villa ini, kasihan sekali. Aku berlari kecil ke arahnya untuk membantu membawakan tasnya dan tiba-tiba langkahku terhenti, seluruh bumi dan segala isinya mendadak diam, yang ada hanya bunyi degup jantungku yang bergemuruh. Sinar temaram dari lampu taman menyinari wajahnya yang tadi tersembunyi di balik rambut panjangnya yang tergerai ketika dia menunduk keluar dari dalam mobil.

"Fe...?", hanya itu yang bisa kuucapkan karena aku terlalu takut untuk berharap. Mungkin aku sudah gila, khayalanku sudah berubah menjadi halusinasi sekarang. Aku berbalik, namun sebelum aku sempat beranjak suara itu memanggil namaku dengan lembut, sama seperti dulu ,"Ron, ini aku...". Cukup sudah, memang aku sudah gila! Benar kata Mbah Tarkam, tidak baik kebanyakan melamun di tempat sepi seperti ini. Setan apa yang tiba-tiba menjelma di depanku, besok pagi-pagi benar aku harus ke Rumah Sakit Jiwa.

"Ron, ini aku...", suara itu lagi.

"Cukup!", teriakku ,"Cukup! Aku mau pergi, aku tidak mau melihatmu dan tidak akan mau melihat siapapun orang lain yang akan datang menyusulmu ke tempat ini! Aku mau berkemas dan pergi sekarang!", aku marah sekali, ingin sekali rasanya aku meninju seseorang saat ini, kuhentakkan keras-keras kaki ke tanah melampiaskan rasa marah.

"Ron..., tapi aku sendiri. Tidak akan ada yang menyusulku ke sini. Berbaliklah, lihat aku!", seketika aku berhenti dan menunggu.

"Ron, aku datang ke sini untuk menemui kamu. Tadi aku singgah ke rumahmu, Ibumu bilang kamu pergi ke villa. Aku buru-buru semampuku, berkemas sebisaku, dan menyusulmu ke sini.", suaranya bergetar.

Dulu, itu artinya aku harus memeluknya dan memberikan ketenangan di sela-sela tangisnya kalau dia sedang sedih,  kecewa, kesal, atau marah akan sesuatu. Sekarang, aku tidak tahu itu artinya apa. Aku bukan siapa-siapa, aku hanya orang bodoh yang pernah tertolak dan mempermalukan diriku sendiri.

"Untuk apa?", aku berbalik. Setelah lima tahun penantian yang panjang, hanya itu yang terpikir dan bisa kuucapkan. Memang benar, betapa bodohnya aku, baru kusadari.

Dia hanya menangis, terisak-isak, dan seperti biasa pundaknya akan terguncang-guncang mengikuti irama tangisnya. Refleks dan tanpa fikir panjang aku berlari memeluknya, airmatanya tumpah membasahi pundakku.

Setelah tangisnya mulai reda, dengan terbata-bata, dia berbisik di telingaku ,"Ron, ma'afkan aku. Waktu itu aku masih sangat muda, terlalu takut kalau tidak akan pernah melihat dunia luar. Kalau aku harus menikah denganmu, kemudian punya anak, dan harus tinggal di rumah untuk selamanya. Aku takut."

Sambil melepaskan diri dari dalam pelukanku dia melanjutkan kata-katanya ,"Aku ingin melihat dunia luas sebelum mengabdikan hidup untukmu dan anak-anak kita. Lebih baik aku meninggalkanmu saat itu daripada aku meninggalkanmu kelak hanya karena aku terlalu mencintaimu saat itu dan terburu-buru menikah denganmu".

"Setiap hari selama lima tahun, aku merindukanmu dan mencintaimu. Dan yang paling menyedihkan dari semua itu, aku tidak punya sesuatupun untuk dibenci dalam dirimu, untuk bisa dijadikan alasan agar tidak merindukanmu. Setiap hari selama lima tahun aku berdoa, jika memang kau adalah bagianku dan aku adalah bagianmu, aku berdoa supaya hari ini tiba Ron", dia menghapus airmatanya dan memandangku dengan matanya yang sembab.

Aku tidak tahan lagi, hatiku luluh melihat dia, perempuan itu, perempuan yang begitu aku cintai berdiri di hadapanku. "Aku menunggumu, setiap hari selama lima tahun, aku menunggumu. Malam ini genap lima tahun sejak kamu pergi dan aku di sini, hanya untuk menunggumu", kataku.

"Sama sepertimu, aku juga tidak memiliki sesuatupun untuk dijadikan alasan agar tidak merindukanmu. Tapi tidak seperti kamu, aku tidak berani berdoa untuk hari ini, karena aku takut hari ini tidak akan pernah tiba atau hari ini akan tiba tapi dengan cara yang tidak akan sanggup aku hadapi", aku menggemgam tangannya dan membimbingnya berjalan ke teras villa.

Sama seperti bertahun-tahun lalu, kami duduk di tangga kayu teras villa ini. Kali ini dalam diam, membiarkan hati saling bicara. Ketika kata-kata yang keluar dari mulut dan bibir tidak cukup berarti untuk diucapkan, biarlah hati yang berbicara. Kata orang, itulah cinta, ketika sepasang manusia berbicara dengan hati dan saling memahami. Bahasa manusia akan lenyap tapi cinta tidak akan pernah akan berkesudahan.

Aku bergumam perlahan ,“ Malam ini bulan penuh".

Dia menengadah dan mengangguk ,“Iya, malam ini bulan penuh".

Aku merengkuhnya ke dalam pelukanku, mencium lembut keningnya, dan menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam memenuhi seluruh rongga dadaku membuang kerinduan yang selama ini menumpuk dan berkarat di dalamnya.

Sejenak aku berdoa di dalam hati ,“Tuhan, ini hanya antara Engkau dan aku, dia tidak boleh tahu. Ini kali kedua, di tempat ini, sudut-sudut mataku basah oleh rasa bahagia, tapi aku tidak menangis. Kalau Engkau berkenan, aku mau merasakannya untuk kali yang ketiga dan itu harus di depan altarmu. Amin”.

Sebersit senyum terlintas di bibirku, teringat kotak kecil berisi sepasang cincin dengan berlian mungil di atasnya. Sengaja kubawa hari ini ,"Siapa tahu!", fikirku ketika berkemas-kemas dari rumah. Akhirnya, di sini, di tempat di mana cinta ada, di tempat di mana dewa dan dewi hidup bahagia dalam wujud manusia, di tempat di mana bunga-bunga bermekaran, di tempat di mana aku kembali percaya ada bahagia yang abadi, di tempat ini, di sebuah villa kayu di atas bukit hijau, pada malam ketika bulan penuh, aku kembali menemukan dia yang diambil dari tulang rusukku.

*** http://www.facebook.com/kayukompas ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar