Kamis, 03 April 2014

My FATHER and I (Bapaku dan Aku)

--- sebuah perbincangan antara aku dan Bapa-ku ---

Aku: Bapa, aku lelah berjalan seperti ini terus, mendaki bukit-bukit terjal ini, menuruni lembah yang licin berlumut, begitu banyak onak dan duri.

Bapa: Apa yang kau ingin Aku lakukan?

Aku: Tidak bisakah Kau membuatku terbang menikmati buaian awan-awan lembut di atas sana dan merasakan semilir angin mengelus wajah dan tubuhku yang letih?

Bapa: Bagaimana kalau kau terjatuh ketika mendarat nanti (Dia memandangkau sambil tersenyum menggoda, seperti layaknya seorang Ayah pada anak-nya)

Aku: Bukankah Kau bisa membuatku mendarat dengan aman?

Bapa: Ya, tentu saja Aku bisa. Memangnya kau ingin mendarat dimana?

Aku: (Dengan wajah tersipu-sipu malu) Mungkin tepat di halaman sebuah rumah kecil, di tepi sebuah danau kecil yang indah? Dan mungkin ada banyak rumpun bunga musim semi bermekaran di sana dengan warna-warni yang semarak dan pastinya ada bau harum yang menyenangkan. Kalau boleh, bisa juga Engkau tambahkan sekumpulan angsa-angsa liar yang asik bercengekerama sambil meluncur indah di ketenangan air danau itu? Dan..., mungkin juga suara burung-burung yang bernyanyi di antara sejuknya pepohonon?

Bapa: Itu baik.

Aku: (Dengan tersenyum puas) Benarkah? Oh Bapa, Engkau benar-benar mengerti keinginan hatiku.

Bapa: Yah, tapi itu bukan yang terbaik.

Aku: (Dengan wajah kecut dan heran) Mengapa Bapa? Tadi kata-Mu itu baik?

Bapa: (Dengan senyum khas-Nya yang lembut dan membujuk) Anak-ku, Aku tidak akan membuatmu terbang di antara awan-awan itu sekalipun Aku mampu. Aku mau kau berjalan di sini BERSAMAKU, agar kau memiliki waktu berbicara dengan-Ku. Dengan demikian, kau bisa semakin mengenal Aku dan menjadi serupa seperti Aku. Karena Aku ini Bapamu dan kau adalah anak-Ku, kau harus menjadi serupa dengan Aku. Itu adalah inti dari perjalanan ini. Lagipula, tidakkah kau sadari ketika kakimu penat dan terluka, Aku selalu ada untuk membebat lukamu dan bahkan menggendongmu. Aku rindu kau mengenal-Ku dan satu-satunya cara untukmu mengenal-Ku adalah di dalam perjalanan ini. Kita berdua, kau dan Aku, anak-Ku.

Aku: (Aku mulai menangis karena lelah tapi juga terharu) Bapa, tapi apakah aku akan kuat?

Bapa: Kau pasti kuat, bukankah ada Aku? Aku tidak akan membiarkanmu jatuh tergeletak. Rahasianya adalah, daripada engkau berkeluh-kesah dan memofokuskan diri dengan semua kesulitan yang KITA lalui, mengapa kau tidak mencoba menikmati pembicaraan kita dan sesekali mengangkat kepala melihat-lihat dan menikmati sekelilingmu. Ada banyak hal yang indah yang kita lalui bersama? Kau berkata tentang sebuah rumah kecil di tepi danau, bukankah kita sudah melewatinya? Rumpun bunga-bunga musim semi? Burung-burung di antara kesejukan pohon? Bagaimana mungkin kau melewatkannya? (Dia tersenyum mengingatkanku).

Aku: Bapa, Engkau selalu saja benar. Memang aku terlalu sibuk dengan bukit-bukit terjal dan lembah yang licin berlumut ini, belum lagi onak dan duri. Tapi Kau benar, ada banyak hal indah yang kita lalui bersama. Sepertinya aku memang telah melewatkan sebagian besar keindahan itu.

Bapa: Nah, benar kan? Sudah, jangan khawatir lagi! Nanti kalau kau kelelahan, Aku akan menggendongmu dan akan menceritakan tentang Aku dan Rumah yang kita tuju.

Aku: Bapa, apakah kita menuju rumah kecil di tepi danau yang tadi aku impikan?

Bapa: Bukan anak-Ku, aku sedang membawamu ke istana-Ku. Dan kau tahu? Itu istana-Mu juga, karena kau adalah anak-Ku dan kau adalah pewaris kerajaan-Ku. Sebuah rumah kecil di tepi danau tidak pantas untukmu, karena engkau adalah anak Raja. Hanya saja aku memang sengaja mengutusmu ke tempat ini, supaya engkau berlatih dengan giat dan menjadi kuat. Dengan demikian, ketika engkau Aku bawa kembali masuk ke dalam istana-Ku, kau menjadi layak memerintah bersama-sama dengan Aku. (Bapa terdiam sejenak dan kemudian Dia melanjutkan sambil tersenyum membujuk lagi, senyum yang sangat aku sukai, senyum yang membuat aku merasa sangat dikasihi oleh-Nya) Lagipula, Aku selalu mendampingimu kan? Aku tidak pernah meninggalkanmu sendirian karena engkau adalah anak yang Ku-kasihi dan Aku adalah Bapa-mu. Ya, aku seorang Bapa yang baik bagimu meskipun terkadang kau tidak mengerti.

Aku: Terimakasih Bapa, memang benar kalau aku ingat-ingat lagi, Engkau begitu baik bagi-Ku. Tapi Bapa, sekarang kakiku begitu lelah, bolehkah Engkau menggendongku sebentar saja? (Seperti biasa dengan ekspresi wajah setengah merajuk, aku mulai berkeluh-kesah lagi)

Bapa: (Dia tersenyum lembut dan mengecup keningku) Anakku, ini Aku sedang menggendongmu, tidakkah kau menyadarinya? Rasa lelah di kakimu akan berangsur pulih dan nanti kau harus berjalan lagi untuk melatih kekuatan otot-otot kakimu. Tapi sementara ini, biarlah Aku menggendongmu sampai kekuatanmu pulih. Sekarang, tutuplah matamu dan beristirahatlah, besok pagi kita akan berbincang-bincang lagi.

Aku: (Menutup mataku dengan tenang, aman, dan nyaman) Terimakasih Bapa, aku mencintai-Mu. (Akupun tertidur dalam gendongan-Nya).

Bapa: Aku mencintaimu lebih dari apapun anak-Ku, kekasih hati-Ku. Bahkan hidup-Ku sendiri telah kuserahkan demi engkau.

Keesekokan harinya aku sudah berjalan lagi dengan kekuatan baru yang sudah dipulihkan karena semalaman Bapaku menggendongku. Aku masih sering tergelincir dan jatuh, tapi setiap kali aku kesulitan dengan senang hati aku akan meraih tangan-Nya dan bersandar pada kekuatan-Nya sehingga aku tidak perlu tergeletak. Dan sesekali ketika aku benar-benar kelelahan, dia tetap menggendong aku bahkan sampai putih rambutku. Dan selama perjalanan itu kami terus berbincang-bincang sehingga aku semakin mengenal Dia dan suatu saat nanti aku bukan menjadi orang asing di Rumah-Nya tapi aku adalah Anak-nya, Pewaris Kerajaan-Nya.

Bapa di dalam nama Tuhan Yesus, ini adalah doa dari kedalaman hatiku.

Tangerang, 3 April 2014
JPS @ http://kayukompas.blogspot.com www.facebook.com/kayukompas

Jumat, 11 Oktober 2013

Surat dari seorang Ayah untuk kedua Puteranya

When I, your father, have let you down (Ketika aku, ayahmu, telah membuatmu kecewa)

Anak-anakku, tak terhitung berapa kali Ayah membisikkan kata ini ke telingamu, bahwa Ayah mencintaimu. Teringat hari ketika kau terlahir ke dunia ini, aku menggendongmu dengan mata basah oleh haru dan bahagia. Waktu itu aku berjanji akan menjadi seorang Ayah yang baik untukmu dan akan menolongmu menjadi seorang laki-laki sejati dalam hidup....

Hari ini, aku menuliskan surat ini untukmu juga dengan mata basah, tapi bukan karena haru dan bahagia seperti ketika engkau terlahir dulu, tapi karena rasa bersalah kepadamu. Aku, Ayahmu, telah membuatmu kecewa.

Hidup membawaku masuk dalam pusaran perjuangan yang tidak mudah anakku. Terkadang tubuh dan pikiran lelahku tak mampu mengimbangi rasa cintaku kepadamu.

Ketika aku seharusnya mendampingimu dalam hari-harimu, yang aku tahu tidak lebih mudah dari hari-hariku, kenyataannya aku harus bergelut dengan dunia ini demi kita.

Ketika aku seharusnya mendampingi malam-malammu, mengajarimu apa itu sistem perkalian, organ tubuh, dan ilmu hidup, kenyataannya aku lebih memilih memanjakan diriku. Kataku, seorang laki-laki harus memiliki waktu untuk dirinya sendiri dan untuk sahabat-sahabatnya.

Ketika aku seharusnya meninabobokanmu sambil mendengarkan celotehmu tentang hidupmu yang belia dan menggairahkan, kenyataannya aku lebih memilih bermesraan dengan gadget di tanganku.

Anakku, hari ini, ketika aku melihat redup di matamu dan kuyu di wajahmu. Aku tahu, kau terluka karena merasa telah membuatku kecewa dengan pencapaianmu.

Anakku, ketika amarahku memuncak, dan tak sepatah katapun terucap dari mulutku. Ketahuilah bahwa detik itu juga aku mengerti, bahwa aku, Ayahmu, telah membuatmu kecewa.

Kenyataannya, aku tidak pernah menjadi seorang Ayah yang baik untukmu sebagaimana dulu janjiku ketika menyambut hadirmu dalam hidupku.

Anakku, aku mengerti sekarang: cinta di hatiku, kata-kata cintaku, semua pencapaianku tidak berarti banyak untukmu.

Karena cinta tidak diukur di kedalaman hatiku, juga tidak dalam kata-kata indah penuh bunga dari mulutku, apalagi pencapaianku, tapi cintaku padamu diukur dari sejauh mana aku berani korban untukmu.

Maafkan aku, Ayahmu, karena telah membuatmu kecewa.

Hanya doa, cinta, dan ketulusanmu yang lugu yang mampu memberi aku, Ayahmu, kekuatan untuk berani berkorban demi kau, kedua puteraku, yang kucintai dengan hidupku.

Dari aku, Ayahmu, seorang laki-laki yang juga tidak sempurna sama sepertimu dan juga sedang belajar menjadi laki-laki sejati dalam hidupku.

Sabtu, 20 Juli 2013

Cinta Dan Cinta Adalah Cinta

Cinta Mencintai Cinta
Sebagaimana Harusnya Cinta Mencintai Cinta
Tetapi Cinta Tak Pernah Mencintai Cinta
Sebagaimana Harusnya Cinta Mencintai Cinta

Cinta Menantikan Cinta
Sebagaimana Harusnya Cinta Menantikan Cinta
Tetapi Cinta Tak Pernah Menantikan Cinta
Sebagaimana Cinta Harusnya Menantikan Cinta

Cinta Merindukan Cinta
Sebagaimana Harusnya Cinta Merindukan Cinta
Tetapi Cinta Tak Pernah Merindukan Cinta
Sebagaimana Cinta Harusnya Merindukan Cinta

Cinta Menginginkan Cinta
Sebagaimana Harusnya Cinta Menginginkan Cinta
Tetapi Cinta Tak Pernah Menginginkan Cinta
Sebagaimana Cinta Harusnya Menginginkan Cinta

Cinta Tanpa Cinta Bukan Cinta
Karena Cinta Diambil Dari Cinta
Cinta Bersama Cinta Sempurnalah Cinta
Karena Cinta Dan Cinta Adalah Cinta


***

http://www.facebook.com/kayukompas

Kamis, 04 Juli 2013

Rumah Para Malaikat

*** Untuk Para Pekerja Sosial dan ‘Anak-anak’ Mereka ***
 
Dimanakah bahagia? Jangan kau tanyakan pada rumput yang bergoyang, karena rumput yang bergoyang tidak mengenal bahagia? Apakah itu cinta? Jangan kau tanyakan pada angin yang lalu karena angin yang lalu tidak mengerti cinta.

Jika telingamu tidak terlalu sibuk dengan gegap-gempita dunia, dengarkanlah aku kali ini. Kali ini saja, sendengkanlah telingamu ke arahku. Akan kuberitahu kau dimanakah letak bahagia dan apakah arti cinta.

Sudahkah kau sendengkan telingamu kepadaku? Marilah, kali ini saja, aku tidak akan berlama-lama dengan telingamu. Aku tahu telingamu terlalu sibuk dengan suara bising hiruk-pikuk pencarianmu. Tapi, sekali lagi aku pinta, kali ini sendengkenlah telingamu kepadaku.

Baiklah, aku tahu kau menganggapku tidak penting, kata-kataku tak berarti, tak mendatangkan manfaat, tak mendatangkan laba bagimu. Sekalipun kau tak mendengar, tak mengapa. Mulutku sudah tak tahan untuk bicara!

Kalau kau bertanya dimanakah bahagia. Mari, aku ajak kau mengembara ke dalam dunia para malaikat. Mereka beterbangan kian-kemari, mengepakkan sayap dengan suka, berdansa dengan tawa. Mata mereka, aduhai, mata mereka. Coba lihat mata mereka. Ayo, jangan malu-malu, coba kau lihat mata mereka. Indah katamu? Bukan, bukan itu. Lugu katamu? Sedikit lagi, tapi bukan itu. Ayo, cari lebih dalam lagi!

Lihat jauh sampai ke kedalaman, apa yang kau lihat? Benar! Itu yang aku maksud. Kau melihat binar-binar berpendaran di mata mereka bukan? Oh, bahagia! Itu rahasianya, ternyata bahagia kutemukan dalam binar-binar mata malaikat-malaikat kecil itu.

Sungguh! Aku tidak akan berdusta kepadamu. Aku sudah lelah berdusta! Kali ini, kumohon percayalah! Aku menemukan bahagia di mata para malaikat kecil itu.

Apa? Kau tak percaya? Aku tantang kau datang dan masuklah ke dalam dunia para malaikat, pasti kau akan takjub. Tertunduk-tunduk karena malu kau akan berlalu dari hadapanku. Karena kau sangka aku berdusta, tapi matamulah yang buta.

Jangan malu, aku juga dulu buta, bahkan sekarang masih setengah buta. Tak mengapa, selaput di mataku hamir luruh sudah. Kuharap nanti tak perlu lagi aku meraba-raba ketika mataku sudah terbuka.

Satu lagi, aku belum selesai! Tunggu! Kumohon, sebentar lagi. Oh, ternyata kau memang tak mendengarkan sejak tadi. Maaf, aku lupa. Aku mengira tadi kau mendengarkan suaraku, mulutku berbusa penuh gairah mengira kau mendengarkannya dengan rela.

Baiklah, tak mengapa, aku akan tetap berbicara!

Cinta! Apakah arti cinta? Mari bersama mejelajah ke dalam dunia fana! Adakah cinta? Dimana cinta? Cari, ayo cari! Dapat? Belum? Oh, tidak. Kemana cinta pergi? Sebentar, aku mau menangis dulu. Aku tidak bisa menemukan cinta.

Hei, coba lihat mereka! Pasangan tanpa cacat tanpa cela! Pasti ada cinta di antara mereka. Lihat, cincin indah melingkar di jari manis mereka. Kau tahu, pasti mereka menikah sudah. Oh, tidak mungkin aku salah. Kali ini aku tidak akan salah! Aku tau pasti, di antara mereka ada cinta.

Lihat, yang pria tampan dan kaya. Yang wanita? Bergengsi dan mandiri! Pasti di antara mereka ada cinta. Sempurna, akhirnya aku bisa menemukan cinta. Sebentar, aku hapus airmataku dulu, aku sudah menemukan cinta!

Hei, apa itu dalam gengaman tangan mereka? Seberkas perjanjian pranikah? Apa maksudnya? Hah, mereka pisah harta? Untuk persiapan jika kelak mereka berspisah? Oh, tidak! Musnah sudah harapan menemukan cinta! Dimana cinta?

Sudahlah, aku lelah sudah! Aku mau pulang saja, mencari bahagia dalam binar-binar mata para malaikat bercahaya. Siapa sangka aku akan menemukan cinta juga di sana.

Aku datang, teriakku! Lihat itu di sana? Rona bahagia memancarlah sudah. Binar-binar mata berpendaran dalam bahagia. Tapi aku masih belum menemukan makna cinta. Sudahlah, mungkin memang sudah tidak ada cinta di dunia.

Hei, hei, tunggu! Aku merasakan sesuatu. Lihat! Lihat, radar cintaku bergetar hebat! Pasti ada gelombang cinta yang dahsyat mengalir di tempat ini. Di mana? Siapa? Dari mana? Aku menjadi gila, gila oleh gelombang cinta. Kejar! Kejar, jangan sampai hilang. Oh, tidak! Radar cintaku hampir meledak.
Pasti begitu banyak gelombang cinta terpancar di sana.

Lari! Aku harus berlari, jangan sampai gelombang cinta hilang sudah.

Apa? Oh, aku kecewa! Itu hanya si Ibu Tua memandikan si Kusta. Mungkin di sana? Huh! Menyebalkan! Itu hanya si Perawan Tua meninabobokan si Buta! Hei, di sana! Halah, itu hanya Pria Tak Berguna memandikan si gila! Dasar Pria Tak Berguna, sudah berkeluarga tapi hidup merana dengan harta seadanya! Bagaimana dengan yang sana? Percuma, itu hanya Wanita Tanpa Cita Rasa mengajarkan nilai-nilai ke orang-orang tak bernilai.

Radar cintaku ternyata rusaklah sudah. Katanya ada banyak gelombang cinta tapi tak satupun yang kasat mata! Aku buang saja! Percuma!

Huaaaah…! Mataku mendadak terbuka, sepertinya selaput mataku luruhlah sudah! Oh tidak, ternyata oh ternyata. Selama ini aku buta, kemudian setengah buta, dan sekarang sudah tidak buta! Aku bersukacita, mataku celiklah sudah! Huraaaa….!

Hei, apakah mataku salah? Begitu banyak malaikat di tempat ini. Bukan saja malaikat-malaikat kecil dengan mata berbinar penuh bahagia. Astaga! Ada juga malaikat dewasa.

Lihat, si Ibu Tua, si Perawan Tua, si Pria Tak Berguna, si Wanita Tanpa Cita Rasa! Astaga, ternyata mereka para malaikat dewasa!

Mereka tak bersayap, tak ada lingkaran di kepala, tak ada cahaya, tapi sungguh mereka para malaikat ternyata.

Lihat! Hati mereka penuh cinta, mereka malaikat cinta! Cinta mengalir, melayang, terpancar, menyebar dari hati mereka. Tak heran, radar cintaku bergejolak dan menggelinjang diterpa gelombang cinta mereka.

Tak kan kubuang radar cintaku, ternyata dia tidak rusak! Radar cintaku lebih peka daripada mataku. Itu masalahnya. Maafkan aku radar cintaku, aku akan menjagamu sampai akhir hayatku.

Cukup! Aku sudah puas! Hentikan! Pencarianku purnalah sudah! Ternyata, aku ada di antara mereka, di antara para malaikat.

Aku berada di rumah para malaikat.

***

http://www.facebook.com/kayukompas

Sabtu, 22 Juni 2013

Jakarta, Shanghai, Jakarta, Bali. Hanya Itu Sayang?

*** Inspired by True Story of A Teacher, Whom I really Respect! Cinta Datang, Berlabuh, dan Pergi! ***

"Bulan depan gue mo married? I don't know. I'm a bit confused now", Luna meringis sambil terus berbicara di telepon genggamnya.

"Hah? Are you sure? Are you crazy or what?", balas Michelle setengah menjerit dari seberang.

Luna mumet setiap kali mengingat tanggal pernikahannya yang makin dekat. Tempat curhat terbaik tentu saja Michelle. Tidak ada teman yang lebih dipercaya oleh Luna selain cewek gila satu itu. Michelle temen baik Luna sejak mereka studi bareng di negeri Paman Sam. Susah senang bersama, sampai graduation day dan Luna memutuskan pulang ke Jakarta untuk sementara waktu dan Michelle tetap tinggal di US.

"Gila yah gue? Chelle, gue beneran gila gak sih? Aduh mampus deh gue? Masak iya gue married sih? Pantes gak sih? Gue gitu loh?", Luna menarik-narik rambut di dahinya. Kebiasaan setiap kali dia galau. "Botak lu lama-lama", begitu komentar Michelle setiap kali dia menarik-narik rambutnya seperti itu.

"Heh, kalau gila sih, emang lu gila! Dari dulu juga gue tau lu gila! Cuman ini married loh Dear? Married? M-A-R-R-I-E-D? Lu ngerti gak seh? Cuman gue lepas sebulan, lu bisa sesat bgini, aduh mati deh gue!", Michelle geregetan dibuatnya.

Michelle melanjutkan ,"Masak iya sih Lun, cuman satu bulan loh Lun? Apa iya lu yakin? Apa kata lu tadi? Dikenalin sama tante lu? Sama tante lu? Krn tante lu, lu melupakan semua ajaran gue? We are the happiest singles alive on earth my dear! Ini US, you know that right? Britney Spears aja married tiga kali cerai mulu!". Mulai deh si Michelle dengan ajaran sesatnya tentang feminisme dan kebahagiaan hidup melajang.

"Emang sih. Gue dikenalin sama tante gue di pesta nikahan sepupu gue, si Raymond. Namanya Aldo. Dia sepupu jauh gue kalau dirunut dari kakek-nenek buyut gue. Itu kata tante Tiar. Tau deh, gelap! Orangnya sih lumayan, cuman kurang dikit sama Keanu Reeves, kurang tinggi dikit, kurang ganteng dikit, kurang...", senyum-senyum sendiri Luna membayangkan cowok itu.

"Eh bego! Itu mah bukan kurang dikit! Lu tuh ye, percuma lu kuliah jauh-jauh, otak lu gak berkembang juga! Heran gue!", sentak Michelle emosional.

"Tapi gue suka sama dia Chelle. Falling in love at the first sight kali gue yah? Matanya ituloh Chelle, aduh dalam, tajam, tapi meneduhkan. Oh... Sist...", Luna memainkan rambutnya dan kelilipan. Gimana gak kelilipan ujung rambut dipuntir-puntir dicolokin ke mata. Ih kebiasaan kalau sedang galau, kelakuan tak terkendali. "Ciri awal kegilaan", itu selalu kata Luna.

"Ih udah ah, males deh gue. Kurang ganteng apa sih cowok-cowok sini Sist? Mau mata yang gimana juga ada? Lu mau mata biru, ijo, abu, kuning, merah..." cerocos Michelle panjang lebar.

"Kuning, merah, jidat lu kuning merah, lu kata sakit kuning apa mabok? Udah ah, pokoknya gue cuman mau kasih tau. Gue mau married bulan depan, tuh di undangan yang gue kirim ada detilnya. Lu kudu datang! Awas luh sampai gak datang gue musuhin lu sampai akhirat!", kata Luna mengancam.

"Ogah gue, lu harepin tuh banyan gue datang. Not even in your dream my dear! You wish! Forget it!", sentak Michelle dengan kesal.

"Tut..", bungyi telepon dimatikan. Dalam hati Luna tahu persis sohibnya itu pasti datang, tidak perduli seberapa marah dia sekarang.

"OMG, bentar lagi gue jadi Nyonya Aldo. Ya Tuhan, bakal nyesel gak sih gue? Auuuu..., aduh!", tanpa sadar Luna menjerit. Kali ini, beberapa helai rambut rontok dari keningnya, tercabut dari akar.

"Beneran botak nih gue! Biarin deh, egp! Ntar lagi juga gue udah jadi emak-emak!", Luna menghempaskan tubuh ke tempat tidur dan menutup wajah dengan bantal.

***

Sebulan kemudian, seminggu menjelang pernikahan, Aldo sudah tiba di Jakarta. Dia cuma mendapatkan cuti dua minggu dari kantor. Maklum, Aldo bekerja sebagai seorang engineer lapangan di salah satu perusahaan pengeboran minyak lepas pantai berskala internasional. Kesibukan tidak memungkinkannya untuk cuti lama-lama. Rencananya setelah mereka menikah nanti, Aldo akan mengajukan permohonan untuk mendapatkan jatah shitf bekerja di laut dan darat. Sebagaimana biasanya karyawan pengeboran lepas pantai yang sudah berkeluarga.

"Wajahnya yang kecokelatan dengan tubuhnya yang kekar, dia memang mempesona", bisik Luna dalam hati sambil memperhatikan calon suaminya.

"Hi Sayang, gimana persiapannya?", sapa Aldo dengan ramah dan bersahabat. Tidak ada kesan kaku dalam suaranya, bahkan sekalipun mereka baru akrab dalam dua bulan ini.

Keluwesannya, itu salah satu yang membuat Luna tidak bisa mengalihkan pandangan dari wajah laki-laki itu, saat mereka bertemu dulu. Senyumnya yang lebar, matanya yang tajam dan teduh, tapi jenaka ketika dia tertawa, alis matanya yang hitam dan lebat. "Seperti ulat bulu", begitu kata Luna dalam hati, "bergerak-gerak setiap kali dia dengan semangat menanggapi cerita dari setiap lawan bicaranya.".

"He is the one!", tanpa sadar Luna mendesis.

"Eh, kenapa?", tanya Aldo.

"Sorry nih, telingaku rada budeg, habis kebanyakan digerocokin sama mesin bor hahaha...", Aldo tertawa renyah memamerkan barisan gigi putih bersih yang tumbuh teratur di rahangnya.

"Gak, cuman iseng doang. Aku suka mendesis kalau gugup", menyadari jawabannya, cepat-cepat Luna menambahkan dalam hati ,"Ular kale, mendesis!".

***

Pernikahan itu berlangsung hikmat. Beberapa butir air mata menetes di pipi Luna ketika dia mengucapkan kalimat sakti itu.

"I do!", meneteslah sudah air bening hangat itu.

"Aduh, kok aku nangis sih? Malu nih...", buru-buru, dia mengusap airmatanya.

Aldo tersenyum ," Gak apa-apa, itu biasa". Dia kecup lembut kening Luna.

"Hah? Dia nangis juga? Hihi anak cowok, kerja lapangan, gagah begini, cengeng juga...", kata Luna. Orang gila, di tengah prosesi begini, masih aja.

"Syukurlah, bukan cuma gue dan suami gue yang nangis.", kata Luna lagi ketika Michelle menyalaminya sambil menangis terisak-isak sampai ingusnya meler segala.

"Ih norak deh lu! Sampai ingusan begitu.", sergah Luna sambil berpelukan.

"Enak aje lo? Lu kira gue nangis karena lo? Gue nangis karena cowok di posisi jam 02PM dari arah elo. Lun, mungkin bentar lagi gue nyusul lu!", bisik Michelle sambil terisak-isak norak. Antrean salaman mulai mengular karena Michelle berlama-lama dengan pengantin.

"Ih, kebangetan lu! Udah ah, sana!", Luna mendorong Michelle ,"Makasih ya Sist, I love you!".

"Love you too Darling!", balas Michelle sambil berpindah ke Aldo.

"Eh, selamat yah!", kata Michelle menyalami Aldo ,"Eh, gue serius nih Mas, lu jagain tu temen gue. Sampe lu apa-apain dia gue cari lu ke ujung bumi! Gara-gara elu, cita-cita kita berdua jadi single paling bahagia di muka bumi batallah sudah!". Michelle tersenyum manis sambil mengedipkan mata ke Luna.

Aldo bengong, tidak kenal, tidak tahu siapa! Dia menatap Michelle, Luna, Michelle lagi. Bingung!

"Eh, ngomong apa lu? Sana lu!", Luna melotot mengancam Michelle sambil tidak lupa memasang senyum di bibir menyalami entah siapa saja tamu di depannya.

"Prosesi pernikahan yang indah, pesta yang meriah", kata Tante Tiar dengan bangga ,"Bener kan Lun, pilihan Tante". Si ganjen Tante Tiar tersenyum penuh arti sambil menyalami Luna dan Aldo.

"I Love You!", kata Aldo tiba-tiba ketika mereka berada di mobil pengantin dan mencium bibir Luna begitu dalam, nyaman, dan nikmat.

"Ow... ow...ow... aduh menyesal gue!", kata Luna dalam hati ,"Tau gini enak, gue married dari kapan taon kale! Ngapain juga gue capek-capek kuliah ke US, toh dapatnya buatan lokal juga!".

***

Dua hari setelah pernikahan, Aldo dan Luna terbang ke Shanghai, China, menyiapkan rumah tinggal mereka dan membereskan beberapa barang-barang Aldo. Khususnya barang-barang yang layak. Layak dibuang maksudnya.

Dalam seminggu seluruh perlengkapan untuk hidup bersama mereka di Shanghai sudah selesai disiapkan. Beruntung, Aldo memperoleh cuti seminggu untuk liburan bulan madu mereka.

"Bali!", Aldo dan Luna sepakat tujuan bulan madu mereka. Mereka tergila-gila dengan pantai, berenang, snorkling, dan diving. Banyak laut dan pantai di dunia ini, tapi untuk momen-momen paling bahagia kali ini, sepertinya Kuta yang paling baik.

"Sekalian balik ke Jakarta, kangen orang tua!", kata Aldo. Luna mengangguk dan memeluk mesra suaminya.

Hari-hari berlalu begitu cepat dalam balutan kebahagiaan pengantin baru. Seminggu sudah sejak hari pernikahan mereka.

"Semua terasa indah bagai di surga", tulis Luna dalam pesan singkatnya ke Michelle.

"Aduh Sist, jangan bikin gue pengen buru-buru donk hehehe...", bales Michelle.

Setelah penerbangan yang memakan waktu lebih dari enam jam, akhirnya Aldo dan Luna tiba di jakarta. Kunjungan singkat ke rumah orang tua Luna, kemudian mereka naik taksi dan menginap di rumah orang tua Aldo.

"Aldo kangen Papa-Mama!", begitu kata Aldo sambil memeluk erat Papanya.

"Ada apa? Kok tumen-tumbennya kamu pakai kangen-kangenan? Dulu waktu masih sendiri juga gak pernah kangen. Sekarang sudah punya isteri kok malah kangen Papa-Mama?", suara Papa Aldo terdengar dalam dan lembut.

"Sudah Pa! Namanya anak kangen, kok ditanya ada apa?", gantian Mama Aldo memeluk anak dan menantunya.

"Aldo kangen Ma!", bisik Aldo lagi.

"Hmmm, kambuh nih cengengnya, dasar anak Mami!", bisik Luna dalam hati. Dia terharu melihat suaminya bisa begitu dewasa dan melindungi dia. Tapi, di saat-saat seperti ini, dia hanya seorang anak kecil dalam pelukan Papa-Mamanya.

Tiga hari mereka berada di Jakarta, Aldo dan Luna terbang ke Bali. Kuta dengan pantainya yang indah menjadi tujuan mereka.

"I want to swim for the rest of my life!", begitu kata Aldo sambil menyiapkan peralatan renangnya. Peralatan snorkling, celana renang, sepatu katak, kacamata, sunscreen sudah masuk di dalam koper peralatan berenangnya.

"Do, kamu jauh-jauh kerja di China, Luna kuliah di US, lah kok bulan madu malah ke Bali? Itu gimana?", tanya Papa Aldo waktu mereka siap-siap berangkat naik taksi ke bandara.

"Justeru itu Pa, udah lama bener nih gak ke Bali! Kapan lagi? Iya kan Lun?", tanya Aldo sambil mengerling ke Luna.

"Iya Pa, yang lain bisa nyusul kata Aldo! Udah bikin daftar kunjungan kok Pa. Masih untung kalau gak dirotasi ke Afrika! Mumpung bisa, mending ke Bali dulu Pa!", Luna tersenyum dan memeluk Papa dan Mama mertuanya dan masuk ke dalam taksi. Mereka melambaikan tangan sampai taksi berbelok di pertigaan jalan.

***

"Untung kita gak terbang sorean, Hun", kata Aldo sambil menaruh ransel ke pundaknya ,"mudah-mudahan bisa ngejar sunset".

Dengan kamera tergantung di lehernya dan tas ransel di punggung, koper kecil peralatan berenang di tangan kanan, Aldo meraih tangan Luna dengan tangan kirinya. Dengan mantap dia menuntun Luna mencari taksi untuk membawa mereka secepatnya ke hotel. Sebuh hotel dengan pantai pribadi di belakangnya. Sempurna untuk menuntaskan kegilaan Aldo dan Luna akan laut.

Dua jam kemudian, mereka sudah berbaring di pantai dengan pakaian renang masing-masing, menikmati indahnya sunset.

"I love the Ocean...!", kata Luna menghirup udara laut dalam-dalam.

"Aku mau renang dulu, mau ikutan gak?" tanya Aldo sambil bangkit berdiri.

"Gak ah, udah kesorean, besok aja!", jawab Luna.

"Ya udah, you take care my stuffs please?", Aldo melepaskan kamera dari lehernya dan menaruhnya di samping Luna.

"Hati-hati loh Hun, udah mulai gelap. Ombaknya juga lumayan tuh...", kata Luna sambil menunjuk ombak yang bergulung-gulung di tengah laut.

"Aye-aye Mam! Gue gak kan berani macem-macem! Promise!", kata Aldo sambil memberi hormat gaya kelasi kapal.

"Go, ntar keburu malam!", Luna mengibaskan tangan sambil tertawa pelan.

"Take care babe!", kata Aldo melambaikan tangan sambil berlari-lari kecil ke dalam laut.

Luna kembali berbaring di tepi pantai menikmati sore. Lama sekali rasanya dia tidak menikmati keindahan pantai Kuta. Sekali lagi dia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perasaan puas.

Sebentar dia menoleh ke laut, ke arah Aldo yang asik berenang.

"Boy is a boy! Gak peduli udah jadi suami, bapak, atau kakek! Tetap aja!", kata Luna dalam hati, geli melihat tingkah laku Aldo berjumpalitan sendiri di air.

Luna menutup mata dan setengah tertidur menunggu Aldo. Ketika dia terjaga, hari sudah mulai gelap.

"Udah gelap aja nih, mending balik ke hotel, dinner! Besok masih banyak agenda", kata Luna berbicara sendiri.

"Mana Aldo?", Luna mencari-cari Aldo di air. Di pantai juga tidak ada. Masak iya Aldo balik ke hotel? Gak mungkin.

"Aldo!!!!! Hun!!!!", teriak Luna ,"Kamu dimana? Jangan bercanda ah, udah malam nih!".

Luna mulai cemas, Aldo bukan tipe orang yang suka bercanda seperti ini.

"Aldo!!! Hun!!! Kamu di mana?", teriak Luna kembali. Tapi suaranya hilang ditelan deburan ombak.

Luna berlari ke hotel dan memeriksa kamar ,"Masih terkunci!", Luna hampir menangis. Jantungnya berdegup kencang, tidak mungkin Aldo bercanda keterlaluan begini.

Dia lari lagi ke pantai, sekarang Luna masuk ke air, mencari-cari.

"Aldo!!! Aldo!!!", teriakan Luna hilang ditelan deburan ombak lagi. Dia mulai putus asa.

"Ya Tuhan, masak iya sih? Ya Tuhan tolong...!", Luna mulai menangis, dia meremas-remas tangannya. Airmata deras mengalir di pipinya.

"Aldo jago berenang, jago diving, masak iya sih?", Luna mulai meracau sendiri. Seperti orang linlung, dia berlari ke sana kemari, berteriak sampai suaranya parau.

Luna berlari ke hotel.

"Pak, tolong Pak! Suami saya! Dia hilang di laut!", kata Luna sesenggukkan.

"Hah? Hilang dimana Mbak? Tenang Mbak, tenang! Tolong-tolong, ada yang hilang di laut!", si Bapak petugas keamanan ikut berteriak panik.

Luna berlari lagi ke laut disusul Bapak itu, beberapa laki-laki lain berlari mengikuti mereka. Ombak terlihat cukup tinggi dan menghempas-hempas ke pantai.

Bermenit-menit mereka semua berteriak, mencari, masuk ke dalam air, namun tidak menemukan Aldo.

Luna mulai lemas, dia jatuh terduduk, bersimpuh di pantai ,"Ya Tuhan!", isak Luna.

Beberapa petugas kepolisan mulai berdatangan dan petugas Tim SAR mulai mencari dengan peralatan seadanya, bahkan ada yang menggunakan speadbot mulai menyusuri pantai.

"Tenang Mbak, tenang.", kata seorang polisi kepada Luna yang menangis tidak terkendali.

Mereka memapah Luna kembali ke hotel.

"Ada keluarga yang Mbak bisa hubungi?", tanya polisi itu dengan lembut.

Melintas raut wajah Papa dan Mama Aldo ketika memeluk anaknya.

Luna menjerit ,"Tidak Mungkin!!! Aldo tadi masih di sana! Ya Tuhan!!! Masak iya sih? Ya Tuhan! Gak Mungkin!", Luna menendang polisi yang ada di depannya.

Polisi itu kaget dan terjengkang. Tapi dengan sabar dia bangkit dan merangkul menenangkan Luna lagi.

"Berdoa Mbak, berdoa.", bujuknya sambil merangkul Luna dengan sedikit paksaan karena Luna masih berontak. Sekarang bahkan suara Pak Polisi itu mulai terdengar serak. Luna melihat dia hampir menangis juga.

"Diam! Aldo masih di sana tadi! Aldo masih di sana! Diam! Ya Tuhan, tolong...!", lolong Luna.

Berpuluh-puluh orang mengelilingi Luna yang menggelosor dari kursi jatuh terduduk di lantai lobi hotel. Semua memandang iba, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Butuh hampir dua jam untuk Luna menenangkan diri dari shock. Tidak terhitung kata-kata hiburan yang lalu di telinganya hanya berupa dengungan tidak bermakna.

"Ya Tuhan, tolong aku! Kuatkan aku!", Luna menangis terisak-isak, tangannya terkepal, dan matanya tertutup.

"Tidak mungkin aku telepon Papa dan Mama Aldo, apa yang harus aku bilang? Aldo mati! Hilang tenggelam di dalam laut? Aaaaaahhhhhh... Aldo!!!", Luna menjerit lagi.

"Aku harus telepon Mami!", kesadaran Luna muncul.

Dia bangkit dan mencari-cari telepon genggamnya.

"Ini Mbak.", kata Polisi tadi.

"Terimakasih", kata Luna.

"Luna, ada apa? Gimana Bali?", suara Mami terdengar ramah dan ceria.

"Mami....!!!!", Luna menjerit sekuat tenaga ,"Mami, Luna udah gila Mami! Luna udah gila!".

"Luna, ada apa Nak? Ya Tuhan, ada apa?", suara Mami gemetaran karena takut.

"Luna, ada apa?", suara Papi terdengar di seberang. Dalam dan berwibawa. Tapi tetap tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.

"Papi...!!!", Luna menjerit lagi, kali ini suaranya melemah. Dia terjatuh, hampir pingsan. Papi satu-satunya selain Aldo yang bisa memberi rasa aman bagi Luna.

"Luna! Luna, dengar Papi! Luna! Luna!", Papi berteriak dari seberang ,"Kamu tenang, bilang ada apa!".

"Aldo hilang Pi", Luna berbisik setengah sadar setengah linglung ,"tenggelam berenang di laut! Aku... pantai... tertidur...". Kalimat Luna mulai tidak jelas, dia linglung dan pingsan.

Pak Polisi yang sedari tadi menunggui Luna mengambil telepon genggamnya.

"Halo! Luna! Luna! Jawab Papi! Luna...!", suara Papi masih terdengar dari seberang. Suaranya meninggi dan tercekik, tidak dalam dan berwibawa seperti biasa.

"Selamat Malam Pak, dengan Kapten Robi di sini. Saya dari kepolisian Pak. Saya mendampingi anak Bapak, Mbak Luna di sini.", Pak Polisi yang bernama Kapten Robi berbicara menggantikan Luna.

"Selamat malam Pak. Ada apa sebenarnya Pak? Saya benar-benar khawatir!", tanya Papi Luna.

"Begini Pak, sepertinya suami Mbak Luna yang bernama Aldo hilang tenggelam di dalam laut. Tapi itu masih perkiraan Pak, karena tidak ada saksi di tempat. Mbak Luna juga tidak menyaksikan langsung. Kami sudah mencoba melakukan pencarian tapi tidak ada tanda-tanda yang ditemukan Pak. Kami akan tetap mencari Pak.", Kapten Robi menjelaskan panjang-lebar.

"Bagaimana mungkin Pak Robi? Tapi mereka baru tiba di Bali hari ini? Tolong anak saya Pak, dia pasti bingung saat ini. Tolong juga cari menantu saya sampai dapat! Kami akan datang secepatnya.", Papi Luna menutup telepon setelah mengucapkan terimakasih.

Malam itu terasa begitu panjang, tapi rasanya semua bergerak sangat cepat di luar batas kesadaran, semua orang bergegas-gegas dalam kesedihan bercampur kebingungan. Antara percaya dan tidak.

Tadi Papi Luna sudah memberitahukan langsung kabar buruk itu kepada keluarga Aldo. Papa dan Mama Aldo terpukul sekali. Bahkan Mama Aldo sampai tidak sadarkan diri.

"Aldo, kamu bilang kangen Papa-Mama, tapi kenapa malah pergi? Aldo...!", hanya itu yang sempat dia ucapkan sebelum tergeletak lemas tak sadarkan diri.

Seminggu pencarian itu berlangsung, bahkan perusahaan tempat Aldo bekerja sampai menurunkan satu unit helikopter untuk menyusuri seluruh kawasan pantai yang diperkirakan sebagai aliran arus laut, baik arus bawah maupun arus atas dari arah Pantai Kuta tempat Aldo hilang. Tidak ada jejak ditemukan.

Luna seperti orang tidak sadarkan diri, hanya diam dan termenung. Sebentar dia berjalan ke pantai, sebentar dia duduk meremas-remas pasir menatap jauh ke laut lepas, dia remas pasir basah itu dan ditaruh di atas kepalanya. Mami Luna dan Michelle yang terus mendampinginya hanya bisa menangis menyaksikan pemandangan itu. Mereka memeluk Luna.

"Aldo, bawa aku bersamamu!", Luna meringis setengah menangis.

"Ya Tuhan, kalau memang Aldo tenggelam. Aku berdoa biarlah dia tidak ditemukan. Aku tidak akan sanggup melihatnya. Biarlah aku mengenang dia, Aldo suamiku, dengan senyumnya yang lebar, matanya yang tajam tapi meneduhkan, wajahnya yang kecokelatan, dan tubuhnya yang kekar!", Luna berbisik sambil terus melumuri tubuhnya dari kepala sampai kaki dengan pasir pantai.

"Aldo, bawa aku bersamamu! Kalau kau mengarungi lautan, bawa aku bersamamu! You told me that you will swim for the rest of your life. Why don't you just take me with you?", mulut Luna terus berkomat-kamit berbicara sendiri.

"Kamu curang, kamu bilang Kuta yang pertama, yang lain sudah di dalam daftar kunjungan kita. Tapi kamu curang, kamu malah pergi sendiri. Hehehe... janji apaan?", airmata mengalir derasa di pipi Luna, tapi mulutnya malah tertawa sinis.

"Bagaimana dengan Afrika? Bahama?", dia tersenyum lagi, semakin sinis.

"Cuma Jakarta, Shanghai, Jakarta, dan Bali! Kamu udah Pergi! Hanya itu Sayang?", airmata mengalir lagi membasahi wajah Luna.

"Aku tidak akan gila Do! Aku tidak akan gila! Aku tidak akan gila!", Luna mulai berbaring di pantai dan menutup mata, membayangkan hari ketika Aldo pergi bersama ombak ke laut lepas.

"Luna, bangun sayang. Ayo bangun. Anak manis, ayo sayang. Kalau Luna mau tidur, di kamar aja yuk.", bujuk Mama dengan lembut. Luna diam saja.

"Aldo, bawa aku bersamamu!", bisik Luna.

***

Tujuh belas tahun sudah sejak hari itu. Tujuh belas tahun pernuh airmata, kegilaan, dan keputusasaan.

"Kalau bukan Tuhan, aku sudah gila Do!", bisik Luna sambil memandangi foto Aldo yang tersenyum lebar.

"Hanya dua bulan kita bertemu, kita menikah! Hanya dua minggu masa pernikahan kita! Bulan madu saja gak sempat! Apa gak pantas kalau aku gila Do?", airmata mengalir lagi di pipi Luna.

"Tiap hari, aku hanya diam. Kadang aku tidak berfikir apapun, tapi air mataku mengalir deras. Di jalan, di bis, di taksi, di mobil, di kamar. Aku heran, kenapa airmataku gak habis-habis Do?", kata Luna lirih.

"Orang-orang melihatku, berfikir aku stress, aku gila! BTW Hun, you know what? I've never been to Bali for these seventeen years, not at all! Not even any single beach I have visited since the moment you dissapeared!", suara Luna menggerung.

"Tapi Do, enough is enough! Aku pikir waktunya aku melanjutkan hidup. Life must go on! See you Hun, perhaps not on this earth, not in the sea that we ever loved. I'll see you in heaven. One day!", Luna menyimpan foto Edo yang terakhir ke dalam peti kayu kecil yang tergeletak di lantai. Dipakunya peti itu, dia simpan ke dalam gudang. Dia berdiri sambil menghapus airmatanya.

***

"That's the story of me Pak", kata Miss Luna saat itu kepadaku.

"Oh, I'm really sorry to hear that. I can't imagine what you've been through Miss." kataku sambil menahan airmata.

"It's OK Pak, I'm fine now. Thanks be to God! Life must go on!", kata Luna tersenyum.

Oh Miss Luna, betapa kagum hatiku melihat ketabahan dan kekuatanmu ketika itu.

"Be strong Miss Luna, all these children need you more than you know.", kataku dalam hati memandang anak-anak muridnya yang berlarian ke sana kemari.

The End.


http://www.facebook.com/kayukompas

Teknik Pemasaran

 
*** Ini bukan puisi, ini hanya opini ***

Ada bermacam-macam teknik pemasaran.
Ada yang menjelekkan diri.
Ada juga menangisi diri, seolah ia terzalimi.
Ada yang hendak bunuh diri.
Ada juga menyesali diri, minta dikasihani.

Dalam hati, dia bertepuk dada, bangga!

Akulah bintang utamanya!
Akulah orang pentingnya!
Akulah segala-galanya!
Akulah kebenarannya!

Yang lebih bersahaja? Banyak?
Yang lebih pongah? Kurasa tak ada!

Lihatlah aku!
Puisiku!
Komentarku!
Inilah Aku!

Akulah si penulis puisi terciamik!
Jempol untukku, fantastik!
Komentar untukku, menarik!
Inilah aku, si penulis puisi terciamik!

*** Teknik Pemasaran oh Teknik Pemasaran, Gara-Gara Dia, Banyak Karya Yang Tak Sempat Tampak ke Permukaan Dan Mendapatkan Perhatian ***

http://www.facebook.com/kayukompas

Jumat, 21 Juni 2013

Akika Tinta Mawar Nek!

"Buseettt..., cakep bener tuh cewek!", turun-naik jakun Mike menelan liur ketika pertama kali melihatnya. Naluri laki-lakinya berkata bahwa dia harus mendapatkan cewek itu. Belum pernah dia melihat cewek secantik itu. Bukan hanya cantik, seksi, anggun, sempurna.

"Astaghfirullahaladzim..., ngucap Mike, ngucap!", dia antuk-antukkan jidatnya ke setir mobil sambil melotot tak berkedip melumat setiap jengkal pemandangan di diri cewek itu. Setengah mati Mike berjuang mengendalikan nafsu dan hasratnya untuk mengejar dan mendapatkan cewek itu.

"Kalau saja di jalan ini boleh berhenti, gue parkir nih! Sialan!", Mike memaki sambil menghantam setir mobilnya dengan telapak tangannya.

Mike si playboy kampus, siapa sih cewek yang gak mau? Banyak cewek cantik yang sudah berhasil dirayu dan ditaklukkannya, sebagian bahkan sudah dilepeh. "Bosen", katanya.

Tapi cewek yang ini, beda banget! Dia mampu membuat Mike blingsatan sendiri di dalam mobilnya. Cewek itu turun dari taksi masuk ke dalam salon kecantikan beberapa ratus meter dari kampusnya.

"Pasti dia anak orang kaya yang lagi mau perawatan tuh? Apa tuh nama salonnya?", Mike cepat-cepat mengambil telepon genggam dan mengetikkan beberapa huruf di BBM dan mengirimkan ke temen dekatnya Deni.

"Apaan neh?", balesan dari Deni.

"Udah diem aja, jgn dihps! Pntg! Urgent! Mission Critical Lvl 1!", Mike membalas BBM itu dengan cepat.

"Halah pakai pending segala lagi, katrok ni!", dengan kesal dia lempar BB ke jok mobil.
Mission Critical Level 1, artinya ada buruan dengan kualitas nomor wahid! Semua anggota geng harus berkumpul untuk pembahasan dan menentukan langkah selanjutnya.

Sore itu, Mike, Deni, Andre, dan Diding sudah berkumpul di kafe tempat biasa.

"Aje gile, gue jatuh cinta Man", Mike membuka meeting dengan tampang masam.

"Hah? Jatuh cinta? Yang bener loh? Orang kayak lo? Orang kayak kita maksud gue, jatuh cinta??? Sakit lo man!", dengan muka bego, Diding menggeleng-geleng tidak percaya.

"Eh, gue serius nih. Lu mau bantu kagak?", Mike sedikit kesal ,"Man, siapa tau ini memang jodoh gue. Harus gue perjuangkan. Solmet bro, solmet!".

Rapat hari itu berakhir dengan kesimpulan, bahwa setiap anggota geng harus berusaha dan bekerja sekeras-kerasnya untuk mengumpulkan informasi seputar cewek misterius itu.

***

Beberapa hari kemudian, rapat dadakan kembali digelar. Kali ini karena ada beberapa laporan mencurigakan dari Andre.

"Mike, kok solmet lu ke salon tiap ari sih? Gak bosen apa? Gue heran ngapain aja tuh cewek di salon?", begitu laporan Andre.

"Jangan-jangan, dia banci salon kale!", Deni ketawa ngakak.

"Man, sekali lagi lu ngomong gitu! Gue bikin jadi banci salon beneran lo!", Mike meninju pundak Deni keras-keras. Mukanya merah, keliatannya dia beneran tersinggung.

"Maaf bro, gitu aje, panas amat... Iye tau-tau yang lagi jatuh cinta!", Deni cepat-cepat minta maaf takut Mike semakin marah.

Memang boss satu ini cukup temperamental dan teman-temannya tahu itu. Dengan ringan, dia bisa melancarakan jurus-jurus karatenya. Sekali waktu, seorang cowok dari kampus lain pernah dihajar oleh Mike dan harus masuk RS.

***

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, penantian itupun akhirnya berakhir.
Dengan menggunakan kaos putih melekat di badan, celana jeans ketat, dan sepatu kets, menonjolkan kegagahan dan otot-otonya yang terlatih, Mike memberanikan diri menemui cewek itu.

Mereka janji akan ketemu di Kafe X, di daerah Senayan. Dengan satu buket bunga mawar ungu dan putih di tangan, Mike melakangkah masuk.

"Nah itu dia, duduk sendiri di meja pojok", kata Mike senang.

Mike melangkah cepat dan sekilas dia menyapukan pandangan sekeliling. Ada yang aneh, aura tempat ini.

Dia melangkah dengan gagah dan sampailah dia di meja itu.

"Hi, gue Mike", kata Mike mengulurkan tangan.

"Hi juga, gue Jane", dia membalas dengan suara agak tinggi dan tercekik.

"Aneh", pikir Mike ,"tapi mungkin dia sedang sakit tenggorokan".

"Hmmm, anu, gue, gue suka sama elu. Gue pengen jadi pacar lu! Lu tau kan? Temen gue Deni udah nyampein surat dari gue buat elu kan?", tidak biasanya Mike terbata-bata seperti ini.

"Iya, sudah", masih dengan suara tinggi dan tercekik si cewek menjawab.

"Elu bener, mau jadi pacar gue?", tanya Jane.

"Iya, benar. Oh iya, gue sering kali melihat lu masuk ke salon X itu? Apa iya lu perawatan tiap hari? Atau jangan-jangan lu yang mengelola tempat itu?", tanya Mike dengan hati-hati.

"Bukan, gue kerja di sana.", jawab Jane.

"Deg", jantung Mike hampir berhenti teringat omongan iseng Deni.

"Oh, tidak apa-apa, seorang perempuan bekerja di salon. Mungkin memang dia solmet gue, kenapa gak? Gue bisa menafkahi dia dan anak-anak gue kelak. Jadi dia gak perlu kerja lagi.", kata Mike dalam hati.

"Sungguh Mike, lu mau jadi pacar gue? Gue belum pernah jalan serius sama cowok, apalagi seganteng lu!", kata Jane dengan manja sambil menggenggam tangan Mike.

Sekarang giliran Mike yang mulai keringat dingin.

"Apa-apaan nih? Biasanya, gue yang bikin cewek keringat dingin? Kenapa sekarang gue yang keringat dingin?", batin Mike.

"Mike, kok diem aja sih? Sebelum kita jadian gue ingin kita saling terbuka Mike. Kalau lu memang sungguh-sungguh mencintai gue.", remasan tangan Jane mulai menjalar sampai ke lengan Mike yang berotot.

"Oh, iya pasti.", Mike pun gelagapan dibuatnya.

"Mike, Jane itu nama gue setelah di Jakarta ini. Dulu waktu di kampung nama gue Jono!", kata Jane dengan suara serak-serak menakutkan.

"Hah?!? Apa?!? Jadi, jadi, lu dulu cowok?", wajah Mike membiru seketika.

"Ihhh Mike jangan gitu donk, akika tinta cowok nek, akika shemale!", tangan Jane atau Jono atau siapapunlah namanya mulai meremas pundak Mike.

"Masya Allah, tolong!!!!", tanpa sadar Mike melepaskan salah satu jurus karatenya yang berjudul 'melepaskan diri dari kuncian'.

Mike berlari tertatih-tatih karena shock yang tidak tertahankan. Tidak perduli berpuluh-puluh pasang mata yang melihatnya dan Jane yang memanggil-manggil dari belakang masih dengan suara tinggi dan tercekik.

"Akika Tinta Mawar Nek!", jerit Mike sekuat-kuatnya, kali ini juga dengan suara tinggi dan tercekik.

http://www.facebook.com/kayukompas